Blog Archive

Thursday 9 July 2015

Pajak Penghasilan di Indonesia

PENDAHULUAN

            Kebutuhan dan keperluan suatu negara sangatlah banyak. Oleh karenanya dibutuhkanlah anggaran yang sangat besar untuk membiayai pengeluaran tersebut, mulai dari pembiayaan yang bersifat rutin sampai pada pembiayaan yang bersifat tidak terduga. Berbagai upaya dilakukan untuk mencari pemasukan negara, mulai dari meningkatkan ekspor, kualitas sektor pariwisata, memajukan iklim usaha dalam negeri, perbaikan infrastruktur, memajukan perindustrian hingga memaksimalkan pajak.
            Bagi sebuah negara maju dan modern, pendapatan utama sebetulnya bukan lagi dari devisa hasil ekspor, apalagi ekspor barang-barang tertentu yang memiliki nilai jual tinggi sekalipun. Negara maju dan modern telah menyerahkan aktivitas ekonomi sehari-hari kepada sektor swasta. Karena itu pemerintah kemudian mengandalkan pemungutan pajak untuk mebiayai berjalannya pemerintahan sehari-hari dan membiayai pembangunan, sehingga ekonomi dapat berjalan jauh ke arah yang lebih baik lagi. Untuk itu diperlukan sebuah sistem yang baik pula agar jumlah pajak yang berhasil ditarik dan dihimpun juga lebih banayk dan tentunya diharapkan akan lebih berguna lagi. Kemudian yang lebih penting sebetulnya adalah bagaimana pajak itu bisa menjadi landasan bagi berlangsungnya kinerja sebuah perekonomian dari suatu bangsa yang telah maju dan modern. Persoalannya adalah pajak tidak selalu mudah dipahami oleh masyarakat, banyak yang punya pandangan yang skeptis terhadap pajak. Banyak yang memandang kalau pajak ditarik dan dihimpun dampaknya tidak langsung terimbas kepada pembayar pajak sesuai dengan sifat pajak yang tidak memberi kontraprestasi kepada wajib pajak. Banyak pula yang memandang kalau ternyata pajak itu lebih banyak dimanipulasi dan kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak berguna untuk masyarakat. Tentunya semua stigma seperi itu adalah sebuah stigma yang salah dan harus kita luruskan dalam perkembanagnnya ke depan.
            Berbagai pajak dipungut lewat berbagai cara dan pembagian-pembagian tertentu. Contohnya seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai, Pajak Penghasilan (PPh), hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Memang sangat banyak kriteria-kriteria penarikan pajak, karena pajak memang sangat menentukan dalam membiayai pembiayaan rutin maupun tidak rutin suatu negara. Untuk negara yang memiliki luas wilayah yang sangat besar seperti negara Indonesia tentulah pengeluarannya sangat besar pula. Akan tetapi dengan luas wilayah yang besar ini sudah semestinya jika pemerintah bisa memanfaatkannya untuk mencari pemasukan negara lewat pajak. Hal tersebut karena Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang besar pula. Penarikan pajak melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saja kita sudah bisa memprediksi berapa banyak hasil pajak yang bisa ditarik dengan mengalikan luas wilayah Indonesia ditambah dengan pertambahan nilai suatu tanah yang selalu bertambah. Selain itu jumlah penduduk yang besar bisa kita manfaatkan melalui Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh). Dengan demikian jumlah penduduk yang besar terutama yang bekerja dan memiliki penghasilan merupakan sektor-sektor pemasukan pajak yang cukup besar.
            Walaupun kita bisa mengambil manfaat yang sangat besar dari luas wilayah dan jumlah penduduk bukan berarti pengeluaran akibat kedua hal tersebut sedikit. Tentulah pengeluaran yang harus ditanggung negara Indonesia juga besar. Sebagai contoh luas yang sangat luas tentulah dibutuhkan anggaran yang besar pula untuk menghidupinya. Mulai dari pembiayaan penanganan keamanan sampai pada infrastruktur pemerintah daerah. Oleh karenanya dibutuhkanlah suatu pemasukan anggaran yang tidak bersifat gali lobang tutup lobang, tetapi lebih dari itu kita harus mencari alternatif pemasukan yang inovatif. Walaupun demikian, bukan berarti luas wilayah dan jumah penduduk tidak bisa dijadikan cara yang inovatif dalam mencari anggaran. Yang menjadi permasalahan di sini adalah bagaimana agar kita bisa mengoptimalkan modal yang sudah ada semaksimal mungkin. Beberapa cara yang bisa dijadikan jalan yang berhubungan dengan pajak adalah dengan memaksimalkan penarikan pajak dengan mengacu kepada fungsi dari masing-masing pajak. Salah satu pajak yang dapat dijadikan alternatif adalah dengan penarikan Pajak Penghasilan (PPh).
            Jumlah penduduk yang banyak merupakan aset dari Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan merupakan pajak yang dikenakan terhadap penghasilan. Jadi, apabila penduduk Indonesia sebagian besar sudah mendapat suatu penghasilan tentu pemasukan dari sektor ini juga akan semakin besar. Diharapkan Indonesia bisa memanfaatkan jumlah penduduk yang ada untuk lebih produktif lagi. Akan tetapi untuk bisa terlaksananya sebagian penduduk yang bisa memiliki penghasilan tentu juga dibutuhkan upaya dari pemerintah terutama dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan. Selain itu pengawasan dalam hal penarikan pajak sangat perlu dilakukan dengan ketat mengingat mudahnya manipulasi data dalam hal penghasilan yang diperoleh.

  

PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA

A. PENGERTIAN, SUBJEK DAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
            Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan terhadap penghasilan. Sedangkan yang dimaksud dengan penghasilan di sini adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
            Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Subjek PPh adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak; badan; dan bentuk usaha tetap (BUT). Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
            Subjek Pajak Penghasilan Dalam Negeri adalah:
1.      Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
2.      Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
3.      Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.
Subjek Pajak Penghasilan Luar Negeri adalah:
1.      Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2.      Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Tidak termasuk Subjek Pajak Penghasilan adalah:
1.      Badan perwakilan negara asing;
2.      Pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain  dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya, serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3.      Organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut, dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
Pejabat-pejabat  perwakilan organisasi internasional  yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
      Yang menjadi objek Pajak Penghasilan adalah:
a)      penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun;
b)      hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan;
c)      laba usaha;
d)     keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:
1)      keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2)      keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota;
3)      keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4)      keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e)      penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f)       bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g)      dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h)      royalti;
i)        sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j)        penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k)      keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
l)        keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m)    selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n)      premi asuransi;
o)      iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p)      tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Yang tidak termasuk objek Pajak Penghasilan adalah:
a)      1. bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2.    harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b)      warisan;
c)      harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d)     penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e)      pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f)       dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1)      dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2)      bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut;
g)      iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h)      penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i)        bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi;
j)        bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k)      penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1)      merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; dan
2)      sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.[1]

B. TARIF PAJAK PENGHASILAN
            Dalam pemungutan pajak, tarif merupakan tolaj ukur untuk menetapkan beban pajak, selain pembagian Penghasilan Kena Pajak (PKP) dalam lapisan Penghasilan Kena Pajak (income bracket).
            Undang-Undang Pajak Penghasilan menganut pendekatan berbeda antara tarif Pajak Penghasilan tingkat orang pribadi maupun badan.
  1. Pajak Penghasilan terutang dari suatu wajib pajak dalam satu tahun pajak untuk wajib pajak dalam negara (badan, orang pribadi) dan wajib pajak luar negeri yang menjalankan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di Indonesia dihitung dengan menerapkan tarif umum pajak dikalikan terhadap Penghasilan Kena Pajak.
  2. Sebelum ditetapkan tarif umum pajak, Penghasilan Kena Pajak tersebut terlebih dahulu dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh.
  3. Tarif umum pajak menurut Undang-Undang nomor 17 tahun 2001 tersebut adalah sebagai berikut:[2]
    1. Bagi wajib pajak orang pribadi dalam negara sebagai lapisannya adalah:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 25.000.000,00
5%
Di atas 25.000.000,00 s.d. 50.000.000,00
10%
Di atas 50.000.000,00 s.d. 100.000.000,00
15%
Di atas 100.000.000,00 s.d. 200.000.000,00
25%
Di atas 200.000.000,00
35%
    1. Bagi wajib pajak dalam negara dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
10%
Di atas 50.000.000,00 s.d. 100.000.000,00
15%
Di atas 100.000.000,00
30%

C. PERKEMBANGAN MEKANISME PAJAK PENGHASILAN
Dalam pelaksanaannya Pajak Penghasilan telah mengalami banyak perubahan dan peraturan dalam perkembangannya. Salah satu di antaranya adalah pemberian insentif Pajak Penghasilan. Pemerintah memberikan empat jenis insentif pajak penghasilan kepada 15 sektor usaha yang melakukan investasi baru atau memperluas usaha. Fasilitas insentif tersebut tidak berlaku bagi wajib pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan atas kegiatan usaha di kawasan ekonomi terpadu.
Dengan demikian, terhitung 1 Januari 2007, pelaku usaha yang melakukan kegiatan tersebut akan mendapatkan potongan pajak penghasilan (PPh). Insentif tersebut diatur dalam revisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di Daerah-daerah Tertentu.
Ke-15 sektor usaha itu berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia, sementara terdapat sembilan kelompok usaha lainnya yang mendapatkan insentif PPh hanya un, tuk wilayah-wilayah tertentu.
Dalam PP 148 disebutkan empat jenis insentif yang diberikan kepada sektor usaha yang dipilih, yakni pertama, bagi industri tertentu mendapatkan pengurangan PPh neto 30 persen dari jumlah penanaman modal; kedua, menetapkan penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, ketiga, kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun, keempat, PPh atas dividen diturunkan dari 20 persen menjadi 10 persen.
Sektor usaha terpilih tergolong kegiatan ekonomi yang mendapatkan prioritas tinggi dalam skala nasional, khususnya yang berorientasi ekspor. Sementara daerah-daerah tertentu adalah daerah terpencil yang secara ekonomis layak dikembangkan, tetapi prasarananya kurang memadai dan sulit dijangkau transportasi umum.
Termasuk dalam kategori ini adalah perairan laut berkedalaman lebih dari 50 meter yang memiliki cadangan mineral, termasuk gas. Penetapan sektor usaha yang mendapatkan insentif PPh tersebut mengakhiri penantian calon investor sejak tahun 2000. PP 148 diterbitkan secara tidak tuntas karena tidak melampirkan sektor usaha dan daerah yang berhak mendapatkannya.
15 Sektor Usaha Dapat Insentif PPh (Berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia)
  1. Industri makanan
  2. Industri tekstil dan pakaian jadi
  3. Kelompok industri bubur kertas dan kertas karton
  4. Kelompok industri bahan kimia
  5. Industri kimia lainnya
  6. Kelompok industri karet dan barang dari karet
  7. Kelompok industri barang dari porselen
  8. Industri logam, besi, dan baja
  9. Kelompok industri logam dasar bukan besi
  10. Kelompok industri mesin dan perlengkapannya
  11. Kelompok industri motor listrik, generator, dan transformer
  12. Kelompok industri elektronika dan telematika
  13. Kelompok industri alat angkut darat
  14. Kelompok industri perbaikan kapal
  15. Industri pembuatan logam dasar bukan besi
Sembilan kelompok usaha yang mendapat insentif PPh untuk wilayah tertentu di Indonesia
  1. Kelompok industri pengolahan makanan di daerah
  2. Kelompok industri sumber daya alam berbasis agro
  3. Kelompok industri kemasan dan kotak dari kertas dan karton
  4. Kelompok industri barang dari plastik
  5. Kelompok industri semen, kapur, dan gips
  6. Kelompok industri furnitur
  7. Kelompok industri penangkapan ikan di laut dan pengolahannya
  8. Kelompok industri perlengkapan udang laut dan pengolahannya
  9. Kelompok industri perlengkapan "mollusca" (cumi dan hewan sejenis yang kulitnya lunak) laut dan usaha terpadu.[3]


KESIMPULAN

            Pajak Penghasilan sebagai salah satu dari berbagai jenis pajak memiliki peran dan fungsi yang sangat sentral bagi pemasukan suatu negara. Pajak Penghasilan dapat digunakan untuk menentukan arah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah ke depan. Apabila Pajak Penghasilan tinggi maka prioritas pembangunan pemerintah juga banyak sehingga diharapkan infrastruktur pemerintah bisa menjadi lebih baik.
Pajak Penghasilan juga dapat digunakan sebagai indikator kemajuan perekonomian suatu negara. Semakin tinggi Pajak Penghasilan suatu negara semakin baik pulalah perekonomian negara tersebut. Semakin tinggi Pajak Penghasilan berarti tingkat produktifitas dari negara tersebut juga tinggi. Hal ini karena Pajak Penghasilan pengenaannya terhadap penghasilan. Sesuai dengan kriterianya penghasilan tentunya didapatkan melaui produktifitas yang dilakukan oleh sesorang. Dengan demikian, dengan jumlah penduduk yang banyak ini seharusnya Indonesia dapat menarik anggaran dari Pajak Penghasilan ini dalam jumlah besar. Hal itu bisa dilakukan asalkan pemerintah bisa menciptakan iklim usaha yang baik sehingga banyak dari penduduk Indonesia yang bisa mencariu penghasilan. Kebijakan pengawasan juga syarat wajib yang harus diperhatikan. Selain itu kebijakan lain yang bisa semakin memperbaiki daripada penanganan Pajak Penghasilan itu sendiri juga harus selalu diperbaiki.

by: Tantowi Azizi Sahoed 



[1] UU RI NO 17 TAHUN 2000 tentang Perubahan Ketiga atas UU NO 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
[2] Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis, Pelaporan Pajak Penghasilan, PT Gramedia Pustaka Utama, 2004, hal. 63-66.
[3] Hotsaritua Situmorang, Lima Belas Sektor Usaha Dapat Insentif PPh, Kompas Edisi 15 November 2006

No comments:

Post a Comment