PENDAHULUAN
Kebutuhan
dan keperluan suatu negara sangatlah banyak. Oleh karenanya dibutuhkanlah
anggaran yang sangat besar untuk membiayai pengeluaran tersebut, mulai dari
pembiayaan yang bersifat rutin sampai pada pembiayaan yang bersifat tidak
terduga. Berbagai upaya dilakukan untuk mencari pemasukan negara, mulai dari
meningkatkan ekspor, kualitas sektor pariwisata, memajukan iklim usaha dalam
negeri, perbaikan infrastruktur, memajukan perindustrian hingga memaksimalkan
pajak.
Bagi
sebuah negara maju dan modern, pendapatan utama sebetulnya bukan lagi dari
devisa hasil ekspor, apalagi ekspor barang-barang tertentu yang memiliki nilai
jual tinggi sekalipun. Negara maju dan modern telah menyerahkan aktivitas
ekonomi sehari-hari kepada sektor swasta. Karena itu pemerintah kemudian
mengandalkan pemungutan pajak untuk mebiayai berjalannya pemerintahan
sehari-hari dan membiayai pembangunan, sehingga ekonomi dapat berjalan jauh ke
arah yang lebih baik lagi. Untuk itu diperlukan sebuah sistem yang baik pula agar
jumlah pajak yang berhasil ditarik dan dihimpun juga lebih banayk dan tentunya
diharapkan akan lebih berguna lagi. Kemudian yang lebih penting sebetulnya
adalah bagaimana pajak itu bisa menjadi landasan bagi berlangsungnya kinerja
sebuah perekonomian dari suatu bangsa yang telah maju dan modern. Persoalannya
adalah pajak tidak selalu mudah dipahami oleh masyarakat, banyak yang punya
pandangan yang skeptis terhadap
pajak. Banyak yang memandang kalau pajak ditarik dan dihimpun dampaknya tidak
langsung terimbas kepada pembayar pajak sesuai dengan sifat pajak yang tidak
memberi kontraprestasi kepada wajib
pajak. Banyak pula yang memandang kalau ternyata pajak itu lebih banyak
dimanipulasi dan kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak berguna untuk
masyarakat. Tentunya semua stigma seperi
itu adalah sebuah stigma yang salah
dan harus kita luruskan dalam perkembanagnnya ke depan.
Berbagai
pajak dipungut lewat berbagai cara dan pembagian-pembagian tertentu. Contohnya
seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Materai, Pajak Penghasilan (PPh),
hingga Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Memang sangat banyak kriteria-kriteria
penarikan pajak, karena pajak memang sangat menentukan dalam membiayai
pembiayaan rutin maupun tidak rutin suatu negara. Untuk negara yang memiliki
luas wilayah yang sangat besar seperti negara Indonesia tentulah pengeluarannya
sangat besar pula. Akan tetapi dengan luas wilayah yang besar ini sudah
semestinya jika pemerintah bisa memanfaatkannya untuk mencari pemasukan negara
lewat pajak. Hal tersebut karena Indonesia mempunyai jumlah penduduk yang besar
pula. Penarikan pajak melalui Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) saja kita sudah
bisa memprediksi berapa banyak hasil pajak yang bisa ditarik dengan mengalikan
luas wilayah Indonesia ditambah dengan pertambahan nilai suatu tanah yang
selalu bertambah. Selain itu jumlah penduduk yang besar bisa kita manfaatkan
melalui Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penghasilan (PPh). Dengan demikian
jumlah penduduk yang besar terutama yang bekerja dan memiliki penghasilan
merupakan sektor-sektor pemasukan pajak yang cukup besar.
Walaupun
kita bisa mengambil manfaat yang sangat besar dari luas wilayah dan jumlah
penduduk bukan berarti pengeluaran akibat kedua hal tersebut sedikit. Tentulah
pengeluaran yang harus ditanggung negara Indonesia juga besar. Sebagai contoh
luas yang sangat luas tentulah dibutuhkan anggaran yang besar pula untuk
menghidupinya. Mulai dari pembiayaan penanganan keamanan sampai pada infrastruktur
pemerintah daerah. Oleh karenanya dibutuhkanlah suatu pemasukan anggaran yang
tidak bersifat gali lobang tutup lobang, tetapi lebih dari itu kita harus
mencari alternatif pemasukan yang inovatif. Walaupun demikian, bukan berarti luas
wilayah dan jumah penduduk tidak bisa dijadikan cara yang inovatif dalam mencari
anggaran. Yang menjadi permasalahan di sini adalah bagaimana agar kita bisa
mengoptimalkan modal yang sudah ada semaksimal mungkin. Beberapa cara yang bisa
dijadikan jalan yang berhubungan dengan pajak adalah dengan memaksimalkan
penarikan pajak dengan mengacu kepada fungsi dari masing-masing pajak. Salah
satu pajak yang dapat dijadikan alternatif adalah dengan penarikan Pajak
Penghasilan (PPh).
Jumlah
penduduk yang banyak merupakan aset dari Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan
merupakan pajak yang dikenakan terhadap penghasilan. Jadi, apabila penduduk
Indonesia sebagian besar sudah mendapat suatu penghasilan tentu pemasukan dari
sektor ini juga akan semakin besar. Diharapkan Indonesia bisa memanfaatkan
jumlah penduduk yang ada untuk lebih produktif lagi. Akan tetapi untuk bisa
terlaksananya sebagian penduduk yang bisa memiliki penghasilan tentu juga
dibutuhkan upaya dari pemerintah terutama dalam hal penyediaan lapangan
pekerjaan. Selain itu pengawasan dalam hal penarikan pajak sangat perlu dilakukan
dengan ketat mengingat mudahnya manipulasi data dalam hal penghasilan yang
diperoleh.
PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA
A. PENGERTIAN, SUBJEK DAN OBJEK PAJAK PENGHASILAN
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan
terhadap penghasilan. Sedangkan yang dimaksud dengan penghasilan di sini adalah
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak,
baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai
untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Pajak Penghasilan (PPh)
dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak. Subjek PPh adalah orang pribadi;
warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
badan; dan bentuk usaha tetap (BUT). Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak
Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
Subjek Pajak Penghasilan Dalam Negeri adalah:
1. Orang pribadi yang bertempat tinggal di
Indonesia atau yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun
pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di
Indonesia.
2. Badan yang didirikan atau bertempat
kedudukan di Indonesia, meliputi Perseroan Terbatas, perseroan komanditer,
perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah, firma, kongsi,
koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha
tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
3. Warisan yang belum terbagi sebagai satu
kesatuan, menggantikan yang berhak.
Subjek
Pajak Penghasilan Luar Negeri adalah:
1. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
2. Orang Pribadi yang tidak bertempat tinggal
di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka
waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh panghasilan dari Indonesia bukan
dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
Tidak termasuk Subjek
Pajak Penghasilan adalah:
1. Badan perwakilan negara asing;
2. Pejabat perwakilan diplomatik, dan
konsulat atau pejabat-pejabat lain dari
negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada
dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan WNI dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh
penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya, serta negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
3. Organisasi Internasional yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat Indonesia menjadi anggota
organisasi tersebut, dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada
pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota;
Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha
atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Yang menjadi objek Pajak Penghasilan adalah:
a) penggantian atau imbalan berkenaan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah,
tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun;
b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau
kegiatan, dan penghargaan;
c) laba usaha;
d) keuntungan karena penjualan atau karena
pengalihan harta termasuk:
1) keuntungan karena pengalihan harta kepada
perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau
penyertaan modal;
2) keuntungan yang diperoleh perseroan,
persekutuan dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham,
sekutu, atau anggota;
3) keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambilalihan usaha;
4) keuntungan karena pengalihan harta berupa
hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah
dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan badan keagamaan atau badan
pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha,
pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang
telah dibebankan sebagai biaya;
f) bunga termasuk premium, diskonto, dan
imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g) dividen, dengan nama dan dalam bentuk
apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h) royalti;
i)
sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j)
penerimaan
atau perolehan pembayaran berkala;
k) keuntungan karena pembebasan utang,
kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah;
l)
keuntungan
karena selisih kurs mata uang asing;
m) selisih lebih karena penilaian kembali
aktiva;
n) premi asuransi;
o) iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan
dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas;
p) tambahan kekayaan neto yang berasal dari
penghasilan yang belum dikenakan pajak.
Yang tidak termasuk objek Pajak
Penghasilan adalah:
a) 1. bantuan sumbangan, termasuk zakat yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah dan para penerima zakat yang berhak;
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga
sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau
badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan
dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang
bersangkutan;
b) warisan;
c) harta termasuk setoran tunai yang diterima
oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d) penggantian atau imbalan sehubungan dengan
pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau
kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;
e) pembayaran dari perusahaan asuransi kepada
orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f) dividen atau bagian laba yang diterima
atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi,
Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal
pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan
syarat:
1) dividen berasal dari cadangan laba yang
ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik
Negara dan Badan Usaha Milik Daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham
pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen)
dari jumlah modal yang disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar
kepemilikan saham tersebut;
g) iuran yang diterima atau diperoleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang
dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h) penghasilan dari modal yang ditanamkan
oleh dana pensiun, dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan;
i)
bagian
laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi;
j)
bunga
obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
k) penghasilan yang diterima atau diperoleh
perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang
didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan
pasangan usaha tersebut:
1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau
yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan; dan
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa
efek di Indonesia.[1]
B. TARIF PAJAK PENGHASILAN
Dalam
pemungutan pajak, tarif merupakan tolaj ukur untuk menetapkan beban pajak,
selain pembagian Penghasilan Kena Pajak (PKP) dalam lapisan Penghasilan Kena
Pajak (income bracket).
Undang-Undang
Pajak Penghasilan menganut pendekatan berbeda antara tarif Pajak Penghasilan tingkat
orang pribadi maupun badan.
- Pajak
Penghasilan terutang dari suatu wajib pajak dalam satu tahun pajak untuk
wajib pajak dalam negara (badan, orang pribadi) dan wajib pajak luar
negeri yang menjalankan usaha melalui Bentuk Usaha Tetap (BUT) di
Indonesia dihitung dengan menerapkan tarif umum pajak dikalikan terhadap
Penghasilan Kena Pajak.
- Sebelum
ditetapkan tarif umum pajak, Penghasilan Kena Pajak tersebut terlebih
dahulu dibulatkan ke bawah dalam ribuan penuh.
- Tarif
umum pajak menurut Undang-Undang nomor 17 tahun 2001 tersebut adalah
sebagai berikut:[2]
- Bagi
wajib pajak orang pribadi dalam negara sebagai lapisannya adalah:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan Rp 25.000.000,00
|
5%
|
Di atas 25.000.000,00 s.d. 50.000.000,00
|
10%
|
Di atas 50.000.000,00 s.d. 100.000.000,00
|
15%
|
Di atas 100.000.000,00 s.d. 200.000.000,00
|
25%
|
Di atas 200.000.000,00
|
35%
|
- Bagi
wajib pajak dalam negara dan bentuk usaha tetap adalah sebagai berikut:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak
|
Tarif Pajak
|
Sampai dengan Rp 50.000.000,00
|
10%
|
Di atas 50.000.000,00 s.d. 100.000.000,00
|
15%
|
Di atas 100.000.000,00
|
30%
|
C. PERKEMBANGAN MEKANISME PAJAK PENGHASILAN
Dalam pelaksanaannya Pajak
Penghasilan telah mengalami banyak perubahan dan peraturan dalam perkembangannya.
Salah satu di antaranya adalah pemberian insentif Pajak Penghasilan. Pemerintah
memberikan empat jenis insentif pajak penghasilan kepada 15 sektor usaha yang
melakukan investasi baru atau memperluas usaha. Fasilitas insentif tersebut
tidak berlaku bagi wajib pajak yang telah memperoleh fasilitas perpajakan atas
kegiatan usaha di kawasan ekonomi terpadu.
Dengan demikian, terhitung 1
Januari 2007, pelaku usaha yang melakukan kegiatan tersebut akan mendapatkan
potongan pajak penghasilan (PPh). Insentif tersebut diatur dalam revisi
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 148 Tahun 2000 tentang Fasilitas Pajak
Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan atau di
Daerah-daerah Tertentu.
Ke-15 sektor usaha itu berlaku
untuk seluruh wilayah Indonesia, sementara terdapat sembilan kelompok usaha
lainnya yang mendapatkan insentif PPh hanya un, tuk wilayah-wilayah tertentu.
Dalam PP 148 disebutkan empat
jenis insentif yang diberikan kepada sektor usaha yang dipilih, yakni pertama,
bagi industri tertentu mendapatkan pengurangan PPh neto 30 persen dari jumlah
penanaman modal; kedua, menetapkan penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, ketiga,
kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 tahun, keempat,
PPh atas dividen diturunkan dari 20 persen menjadi 10 persen.
Sektor usaha terpilih
tergolong kegiatan ekonomi yang mendapatkan prioritas tinggi dalam skala nasional,
khususnya yang berorientasi ekspor. Sementara daerah-daerah tertentu adalah
daerah terpencil yang secara ekonomis layak dikembangkan, tetapi prasarananya
kurang memadai dan sulit dijangkau transportasi umum.
Termasuk dalam kategori ini adalah perairan laut
berkedalaman lebih dari 50 meter yang memiliki cadangan mineral, termasuk gas.
Penetapan sektor usaha yang mendapatkan insentif PPh tersebut mengakhiri
penantian calon investor sejak tahun 2000. PP 148 diterbitkan secara tidak
tuntas karena tidak melampirkan sektor usaha dan daerah yang berhak
mendapatkannya.
15 Sektor Usaha Dapat Insentif
PPh (Berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia)
- Industri
makanan
- Industri
tekstil dan pakaian jadi
- Kelompok
industri bubur kertas dan kertas karton
- Kelompok
industri bahan kimia
- Industri
kimia lainnya
- Kelompok
industri karet dan barang dari karet
- Kelompok
industri barang dari porselen
- Industri
logam, besi, dan baja
- Kelompok
industri logam dasar bukan besi
- Kelompok
industri mesin dan perlengkapannya
- Kelompok
industri motor listrik, generator, dan transformer
- Kelompok
industri elektronika dan telematika
- Kelompok
industri alat angkut darat
- Kelompok
industri perbaikan kapal
- Industri
pembuatan logam dasar bukan besi
Sembilan kelompok usaha yang
mendapat insentif PPh untuk wilayah tertentu di Indonesia
- Kelompok
industri pengolahan makanan di daerah
- Kelompok
industri sumber daya alam berbasis agro
- Kelompok
industri kemasan dan kotak dari kertas dan karton
- Kelompok
industri barang dari plastik
- Kelompok
industri semen, kapur, dan gips
- Kelompok
industri furnitur
- Kelompok
industri penangkapan ikan di laut dan pengolahannya
- Kelompok
industri perlengkapan udang laut dan pengolahannya
- Kelompok
industri perlengkapan "mollusca" (cumi dan hewan sejenis yang
kulitnya lunak) laut dan usaha terpadu.[3]
KESIMPULAN
Pajak
Penghasilan sebagai salah satu dari berbagai jenis pajak memiliki peran dan
fungsi yang sangat sentral bagi pemasukan suatu negara. Pajak Penghasilan dapat
digunakan untuk menentukan arah kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah ke
depan. Apabila Pajak Penghasilan tinggi maka prioritas pembangunan pemerintah
juga banyak sehingga diharapkan infrastruktur pemerintah bisa menjadi lebih
baik.
Pajak Penghasilan juga dapat
digunakan sebagai indikator kemajuan perekonomian suatu negara. Semakin tinggi
Pajak Penghasilan suatu negara semakin baik pulalah perekonomian negara
tersebut. Semakin tinggi Pajak Penghasilan berarti tingkat produktifitas dari
negara tersebut juga tinggi. Hal ini karena Pajak Penghasilan pengenaannya
terhadap penghasilan. Sesuai dengan kriterianya penghasilan tentunya didapatkan
melaui produktifitas yang dilakukan oleh sesorang. Dengan demikian, dengan
jumlah penduduk yang banyak ini seharusnya Indonesia dapat menarik anggaran
dari Pajak Penghasilan ini dalam jumlah besar. Hal itu bisa dilakukan asalkan
pemerintah bisa menciptakan iklim usaha yang baik sehingga banyak dari penduduk
Indonesia yang bisa mencariu penghasilan. Kebijakan pengawasan juga syarat
wajib yang harus diperhatikan. Selain itu kebijakan lain yang bisa semakin
memperbaiki daripada penanganan Pajak Penghasilan itu sendiri juga harus selalu
diperbaiki.
by: Tantowi Azizi Sahoed
[1] UU RI NO 17 TAHUN 2000 tentang Perubahan
Ketiga atas UU NO 7 TAHUN 1983 tentang Pajak Penghasilan
[2] Gustian Djuanda dan Irwansyah Lubis, Pelaporan Pajak Penghasilan, PT Gramedia
Pustaka Utama, 2004, hal. 63-66.
[3] Hotsaritua Situmorang, Lima Belas Sektor Usaha Dapat Insentif PPh, Kompas
Edisi 15 November 2006
No comments:
Post a Comment