Blog Archive

Thursday 9 July 2015

Tantangan dan Prospek Obligasi Syariah

PENDAHULUAN

Agama Islam merupakan agama yang meletakkan dasar penerapan prinsip syariah dalam industri keuangan, karena di dalam Islam dikenal kaedah muamalah yang merupakan kaedah hukum atas hubungan antara manusia yang di dalamnya termasuk hubungan perdagangan dalam arti yang luas. Dalam era globalisasi saat ini sistem perekonomian yang berbasis perekonomian syariah menjadi salah satu alternatif pilihan yang tepat bagi maysarakat Indonesia. Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam merupakan pangsa pasar yang baik bagi perekonomian syariah. Mengingat begitu strategisnya pangsa pasar yang ada di Indonesia diharapkan pemerintah Indonesia memberikan apresiasi yang besar terhadap berkembangnya perekonomian berbasis syariah.
Bicara sistem ekonomi syariah, ternyata tidak hanya bank dan asuransi syariah, di dalamnya juga terdapat berbagai instrumen lain, seperti pasar modal syariah, obligasi syariah, reksadana syariah dan lain-lain. Apalagi dengan semakin berkembangnya industri keuangan dan perbankan syariah, perkembangan obligasi syariah pun tentu akan makin marak. Di Indonesia obligasi syariah dirediksikan akan mengalami peningkatan yang cukup baik di tahun-tahun mendatang. Jadi prospek dari obligasi syariah sangatlah baik.
Kendati pertumbuhannya secara perlahan, peluang berkembangnya obligasi syariah ke depan sangatlah menjanjikan. Hal ini terlihat dari jumlah perusahaan yang mulai menerbitkan obligasi syariah, baik dengan akad ijarah (sewa-menyewa) maupun mudharabah (bagi hasil).
Walaupun di Indonesai prospek obligasi syariah dinilai baik perkembangannya, namun perkembangan obligasi syariah di Indonesia masih kalah jauh bila dibandingkan dengan negara-negara tetangga semisal Malaysia. Malaysia sudah bisa dikatakan sebagai pusat investasi bisnis berbagi syariah karena telah menerapkan beberapa instrumen keuangan syariah untuk industri keuangan Islamnya.
Untuk obligasi syariah, di Malaysia hingga akhir tahun 2004 mencapai kenaikan 31,69% dari total nilai obligasi yang tercatat di pasar modal Malaysia, sementara di Indonesia hingga akhir Desember 2004 baru mencapai Rp. 1.424 Triliun atau 1,72% dari total nilai emisi obligasi di Indonesia pada tahun yang sama yaitu sebesar Rp. 83.005,345 Triliun.[1]
Selain itu berbagai tantangan yang lain juga harus dihadapi, seperti belum tersosialisasinya dengan baik produk syariah dalam hal ini obligasi syariah. Jadi, walaupun kita memiliki pangsa pasar yang luas untuk kita masuki, namun jika pasar tersebut sama sekali tidak mengetahui apa sebenarnya kebaikan dan keunggulan dari obligasi syariah itu sendiri tentulah hasilnya akan nihil. Selain itu apa sebenarnya keunggulan dari obligasi syariah bila dibandingkan dengan oleh konvensional selama ini juga merupakan tantangan yang kita hadapi. Banyak pihak yang membandingkan kedua hal tersebut yang apabila ternyata kita dalam pelaksanaannya kita kalah kualitas tentulah kita tidak akan kalah saing. Permasalahan yang terpenting adalah jangan sampai kita sama sekali tidak memanfaatkan peluang yang ada di tengah-tengah prospek baik yang kita miliki walaupun tentunya dengan berbagai tantangan yang harus kita hadapi.

  

TANTANGAN DAN PROSPEK OBLIGASI SYARIAH

A. MEKANISME OBLIGASI SYARIAH
1. Pengertian Obligasi Syariah
Obligasi syariah berbeda dengan obligasi konvensional. Semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) ini keluar dari daftar investasi halal. Karena itu, dimunculkan alternatif yang dinamakan obligasi syariah.
Merujuk kepada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, "Obligasi Syariah adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan Emiten kepada pemegang Obligasi Syari’ah yang mewajibkan Emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang Obligasi Syari’ah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo".
Pada awalnya, penggunaan istilah "obligasi syariah" sendiri dianggap kontradiktif. Obligasi sudah menjadi kata yang tak lepas dari bunga sehingga tidak dimungkinkan untuk di- syariah-kan.
Namun sebagaimana pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan prinsip syariah, tetap menghimpun dan menyalurkan dana, tetapi tidak dengan dasar bunga, demikian juga adanya pergeseran pengertian pada obligasi. Mulanya dikenal sebagai instrumen fixed income karena memberikan kupon dengan bunga tetap (fixed) sepanjang tenornya. Kemudian dikembangkan juga obligasi dengan kupon bunga mengambang (floating) sehingga bunga yang diterima pemegang obligasi tidak lagi tetap. Dalam hal obligasi syariah, kupon yang diberikan tidak lagi berdasarkan bunga, tetapi bagi hasil atau margin/fee.
Menarik untuk memperhatikan bahwa Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN- MUI/IX/2002 tersebut memberikan pertimbangan awal bahwa obligasi yang selama ini (konvensional) didefinisikan masih belum sesuai dengan syariah. Karenanya, obligasi yang dibenarkan menurut syariah yaitu obligasi yang berdasarkan prinsip syariah.
2. Struktur Obligasi Syariah
Obligasi syariah sebagai bentuk pendanaan (financing) dan sekaligus investasi (investment) memungkinkan beberapa bentuk struktur yang dapat ditawarkan untuk tetap menghindarkan pada riba. Berdasarkan pengertian tersebut, obligasi syariah dapat memberikan:
a)      Bagi Hasil berdasarkan akad Mudharabah/Muqaradhah/Qiradh atau Musyarakah. Karena akad Mudharabah/Musyarakah adalah kerja sama dengan skema bagi hasil pendapatan atau keuntungan, obligasi jenis ini akan memberikan return dengan penggunaan term indicative/expected return karena sifatnya yang floating dan tergantung pada kinerja pendapatan yang dibagihasilkan.
b)      Margin/Fee berdasarkan akad Murabahah atau Salam atau Istishna atau Ijarah. Dengan akad Murabahah/Salam/ Isthisna sebagai bentuk jual beli dengan skema cost plus basis, obligasi jenis ini akan memberikan fixed return.
Di Indonesia, yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah adalah struktur Mudharabah (bagi hasil pendapatan) baik yang telah diterbitkan maupun yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Sehingga, yang dikenal adalah obligasi syariah mudharabah.
Obligasi syariah mudharabah memang telah memiliki pedoman khusus dengan disahkannya Fatwa No: 33/DSN-MUI/ IX/2002. Disebutkan dalam fatwa tersebut, bahwa Obligasi Syariah Mudharabah adalah obligasi syariah yang menggunakan akad mudharabah. Selain telah mempunyai pedoman khusus, terdapat beberapa alasan lain yang mendasari pemilihan struktur mudharabah ini, di antaranya adalah:
a)      Bentuk pendanaan yang paling sesuai untuk investasi dalam jumlah besar dan jangka yang relatif panjang;
b)      Dapat digunakan untuk pendanaan umum (general financing) seperti pendanaan modal kerja ataupun pendanaan capital expenditure;
c)      Mudharabah merupakan percampuran kerja sama antara modal dan jasa (kegiatan usaha) sehingga membuatnya strukturnya memungkinkan untuk tidak memerlukan jaminan (collateral) atas aset yang spesifik. Hal ini berbeda dengan struktur yang menggunakan dasar akad jual beli yang mensyaratkan jaminan atas aset yang didanai;
d)     Kecenderungan regional dan global, dari penggunaan struktur Murabahah dan Bai bi-thaman Ajil menjadi Mudharabah dan Ijarah.
Mekanisme atau beberapa hal pokok mengenai obligasi syariah mudharabah ini dapat diringkaskan dalam butir-butir berikut:
a)      Kontrak atau akad Mudharabah dituangkan dalam perjanjian perwaliamanatan;
b)      Rasio atau persentase bagi hasil (nisbah) dapat ditetapkan berdasarkan komponen pendapatan (revenue) atau keuntungan (profit; operating profit, EBIT, atau EBITDA). Tetapi, Fatwa No: 15/DSN-MUI/IX/2000 memberi pertimbangan bahwa dari segi kemaslahatan pembagian usaha sebaiknya menggunakan prinsip Revenue Sharing;
c)      Nisbah ini dapat ditetapkan konstan, meningkat, ataupun menurun, dengan mempertimbangkan proyeksi pendapatan Emiten, tetapi sudah ditetapkan di awal kontrak.
d)    Pendapatan Bagi Hasil berarti jumlah pendapatan yang dibagihasilkan yang menjadi hak dan oleh karenanya harus dibayarkan oleh emiten kepada pemegang obligasi syariah yang dihitung berdasarkan perkalian antara nisbah pemegang obligasi syariah dengan pendapatan/keuntungan yang dibagihasilkan yang jumlahnya tercantum dalam laporan keuangan konsolidasi emiten.
e)     Pembagian hasil pendapatan ini atau keuntungan dapat dilakukan secara periodik (tahunan, semesteran, kuartalan, bulanan);
f)      Karena besarnya pendapatan bagi hasil akan ditentukan oleh kinerja aktual emiten, maka obligasi syariah memberikan indicative return tertentu.



B. TANTANGAN OBLIGASI SYARIAH
            Obligasi syariah dinilai prospektif, tetapi menghadapi tantangan yang tak sedikit. Sosialisasi yang belum cukup merupakan salah satu tantangan yang harus segera dibenahi. Harus diakui bahwa masyarakat kita belum begitu terbiasa dengan sistem bagi hasil maupun sistem syariah lainnya. Padahal, potensi investor obligasi syariah dari ritel tergolong besar. Hal ini dimungkinkan karena denominasi obligasi syariah yang diterbitkan bisa senilai Rp 10 juta. Sekaligus menjadi edukasi bagi masyarakat untuk mulai berinvestasi dalam jangka yang lebih panjang, alih-alih hanya di deposito yang berjangka pendek.
Tantangan berikut menyangkut opportunity cost yang secara sederhana diterjemahkan sebagai "second best choice". Langsung atau tak langsung ada pembandingan atas pilihan yang ada. Karena investor base obligasi syariah secara potensial sangat luas, mau tidak mau, obligasi syariah berdasarkan bagi hasil akan menghadapi ini.
Ilustrasinya, ketika obligasi syariah mudharabah ditawarkan, emiten membandingkannya dengan suku bunga pinjaman sementara investor (terutama investor konvensional) membandingkan dengan yield obligasi konvensional. Karena sistem bagi hasil ini tidak menawarkan "fixed-predetermined return", hasilnya bisa berfluktuasi.
Misalnya suatu saat, obligasi syariah ini memberi tingkat kupon 20 persen, investor akan senang, tetapi sepertinya emiten akan merasa "kemahalan" karena membandingkan dengan pinjaman bank atau obligasi konvensional dengan bunga kupon lebih murah.
Di saat lain, obligasi syariah memberi kupon "hanya" 12 persen, emiten senang, tetapi investor akan membandingkannya dengan Sertifikat Bank Indonesia (SBI), obligasi pemerintah, atau obligasi konvensional lainnya. Memang opportunity cost, dan penurunan kinerja pendapatan ini menjadi salah satu risiko bagi investor obligasi syariah.
Padahal, risiko investor di obligasi syariah sebetulnya mirip saja dengan investor obligasi dengan bunga mengambang. Berbedanya adalah, struktur syariah ini sesungguhnya lebih menawarkan "keadilan".
Tantangan lain adalah menyangkut perdagangan obligasi syariah di pasar sekunder yang mengemuka kepentingannya karena tujuan likuiditas (as-suyulah). Hampir semua Islamic bonds dibeli untuk investasi jangka panjang, sampai jatuh tempo. Lebih banyaknya investor yang buy and hold memang akan membuat pasar sekundernya kurang likuid. Hal ini terjadi pada Obligasi Syariah Mudharabah Indosat.
Suksesnya sebuah pasar dan instrumen keuangan, baik syariah maupun lainnya, akan tergantung pada faktor kepercayaan atas sistem dan proses, keragaman dan kualitas produk, serta keyakinan investor dan emiten untuk menggunakan produk keuangan tersebut.
Dari sisi pasar modal, penerbitan obligasi syariah muncul sehubungan dengan berkembangnya institusi-institusi keuangan syariah, seperti asuransi syariah, dana pensiun syariah, dan reksa dana syariah yang membutuhkan alternatif penempatan investasi.
Menariknya, investor obligasi syariah tidak hanya berasal dari institusi-institusi syariah saja, tetapi juga investor konvensional. Produk syariah dapat dinikmati dan digunakan siapa pun, sesuai falsafah syariah yang sudah seharusnya memberi manfaat (maslahat) kepada seluruh semesta alam. Investor konvensional akan tetap bisa berpartisipasi dalam obligasi syariah, jika dipertimbangkan bisa memberi keuntungan kompetitif, sesuai profil risikonya, dan juga likuid. Sementara obligasi konvensional, investor base-nya justru terbatas karena investor syariah tidak bisa ikut ambil bagian di situ.
Bagi emiten, menerbitkan obligasi syariah berarti juga memanfaatkan peluang-peluang tertentu. Emiten dapat memperoleh sumber pendanaan yang lebih luas, baik investor konvensional maupun syariah. Selain itu, struktur obligasi syariah yang inovatif juga memberi peluang untuk memperoleh biaya modal yang kompetitif dan menguntungkan.
Tetapi, sebagai catatan, tidak semua emiten dapat menerbitkan obligasi syariah. Untuk menerbitkan Obligasi Syariah, beberapa persyaratan berikut yang harus dipenuhi:
a) Aktivitas utama (core business) yang halal, tidak bertentangan dengan substansi Fatwa No: 20/DSN-MUI/IV/2001. Fatwa tersebut menjelaskan bahwa jenis kegiatan usaha yang bertentangan dengan syariah Islam di antaranya adalah:
i)                    usaha perjudian dan permainan yang tergolong judi atau perdagangan yang dilarang;
ii)                  usaha lembaga keuangan konvensional (ribawi), termasuk perbankan dan asuransi konvensional;
iii)                usaha yang memproduksi, mendistribusi, serta memperdagangkan makanan dan minuman haram;
iv)                usaha yang memproduksi, mendistribusi, dan atau menyediakan barang-barang ataupun jasa yang merusak moral dan bersifat mudarat.
b) Peringkat Investment Grade:
i)                    memiliki fundamental usaha yang kuat;
ii)                  memiliki fundamental keuangan yang kuat;
iii)                memiliki citra yang baik bagi publik
c) Keuntungan tambahan jika termasuk dalam komponen Jakarta Islamic Index  (JII).
Dengan kondisi yang telah diuraikan di atas, masa depan obligasi syariah masih tetap dipandang prospektif sejalan dengan perkembangan lembaga keuangan syariah lainnya.

C. PERKEMBANGAN DAN PROSPEK OBLIGASI SYARIAH
Pasar modal syariah telah diluncurkan pada 14 Maret 2003. Muncul harapan bahwa pasar modal yang didasari prinsip-prinsip syariah dapat berkembang lebih besar lagi. Pasar modal syariah diharapkan dapat mendorong pertumbuhan institusi-institusi (lembaga keuangan) syariah dan instrumen-instrumen syariah. Salah satu instrumen syariah yang diperkirakan akan berkembang pesat adalah obligasi syariah.
Memang terdapat keterkaitan yang erat dalam upaya pengembangan pasar modal syariah ini. Pasar, instrumen, dan institusi menjadi komponen yang saling mendukung dalam sistem keuangan. Satu institusi akan membutuhkan pasar, instrumen, dan institusi lainnya. Ketika bank syariah dikembangkan, muncullah kebutuhan untuk membuat pasar uang syariah. Pada saat reksa dana syariah dimunculkan, perlu instrumen halal untuk penyaluran penempatan portfolio-nya. Demikian juga dengan asuransi dan dana pensiun syariah. Lembaga keuangan syariah ini memerlukan bank syariah, membutuhkan pasar modal syariah dengan saham halal dan obligasi syariahnya. Ketika suatu emiten yang tercatat di bursa ingin dikatakan tergolong syariah, boleh jadi emiten tadi memerlukan obligasi syariah sebagai pendanaan alternatifnya.
Salah satu indikasi pertumbuhan dan perkembangan obligasi syariah pada beberapa tahun belakangan ini dapat dilihat dari maraknya penawaran umum perdana obligasi syariah dengan akad Ijarah. Sebagai gambaran bahwa sampai dengan akhir tahun 2003 hanya terdapat 6 (enam) emiten yang menawarkan obligasi syariah di pasar modal Indonesia dengan total nilai emisi sebesar Rp 740 Milyar, sedangkan pada tahun 2004 ada penambahan sebanyak 7 (tujuh) emiten baru yang telah mendapatkan pernyataan efektif dari Bapepam. Dengan demikian, sampai dengan akhir tahun 2004 secara kumulatif terdapat 13 (tiga belas) emiten yang menawarkan obligasi syariah atau meningkat sebesar 116,67% jika dibandingkan dengan tahun 2003 yang hanya ada 6 (enam) emiten obligasi.
Perkembangan selanjutnya adalah ditandai dengan meningkatnya nilai emisi obligasi syariah di pasar modal Indonesia, seperti diketahui bahwa nilai emisi obligasi syariah pada akhir tahun 2003 baru mencapai sebesar Rp 740 Milyar sedangkan nilai emisi obligasi yang sama pada akhir tahun 2004 mencapai Rp 1.424 Triliun yang berarti ada peningkatan sebesar 92,43%, namun jika dibandingkan dengan total nilai emisi obligasi di pasar modal Indonesia di tahun 2004 secara keseluruhan yaitu sebesar Rp. 83.005,349 Triliun, maka prosentasenya masih terlalu kecil yaitu baru mencapai 1,72%.

Penerbit Obligasi Syariah s.d. Desember 2004
No
Instumen Invest. Syariah
Tgl. Efektif Total
(Milyar Rp.)
Indikasi return (%)
1
Indosat Syariah Mudharabah (2002)
30-Oct-02
175
16,75
2
Bank Muamalat Syariah Subordinasi (2003)
30-Jun-03
200
17
3
Cilindra Perkasa I Th. (2003)
18-Sep-03
60
14
4
Bukopin Syariah Mudharabah (2003)
30-Jun-03
45
15
5
Berlian Laju Tanker Mudharabah (2003)
05-Dec-03
60
13
6
BSM Mudharabah (2003)
22-Oct-03
200
13
7
Obligasi Syariah PTPN VII (2004)
18-Mar-04
75
13,5
8
Matahari Putra Prima Ijarah (2004)
28-Apr-04
150
13,80
9
Sona Topas Tourism Ijarah (2004)
17-Jun-04
52
13,5-14,5
10
Citra Sari Makmur Ijarah (2004)
29-Jun-04
100
13,5-14,5
11
CSM Corpotama Ijarah (2004)
1-Nov-04
100
13,25
12
Berlian Ijarah I (2004)
2-Des-04
85
13,75
13
Humpus Intermoda Trans Ijarah I (2004)
10-Des-04
122
-
Total Nilai Emisi
1.424T

Sebagai tindak lanjut atas Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 32/DSN-MUI/IX/2002, beberapa perusahaan besar di Indonesia telah mengeluarkan obligasi syariah. Seperti misalnya pada Oktober 2002 PT. Indosat Tbk telah mengeluarkan obigasi syariah yang pertama kali di pasar modal Indonesia dengan tingkat imbal hasil 16,75 %, suatu tingkat imbal hasil (return) yang cukup tinggi jika dibanding rata return obligasi dengan prinsip riba/konvensional.[2]
Untuk tahun 2006 ini diperkirakan obligasi syariah juga mengalami peningkatan yang cukup bagus. Obligasi syariah tahun ini diprediksi tumbuh 10-20 persen. Hal itu sejalan pesatnya perkembangan perekonomian syariah. Saat ini, porsi obligasi syariah kurang dari lima persen dari pasar pasar obligasi nasional.
Meskipun laju inflasi memberikan dampak bagi perekonomian, pasar perekonomian syariah tetap tumbuh. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya bank syariah atau unit usaha syariah (UUS) yang didirikan. Perkembangan jumlah bank syariah juga terlihat dari pertumbuhan lending mereka. Selain itu, emiten mulai melirik obligasi syariah karena dinilai lebih menguntungkan. Perhatian emiten ini menunjukan prospek obligasi syariah tetap tumbuh pada tahun ini. Meskipun SBI masih tinggi yakni 12,75 persen, ternyata obligasi syariah diprediksi tetap tumbuh. Saat ini sejumlah emiten tidak lagi menerbitkan obligasi konvensional saja. Namun, juga menerbitkan obligasi syariah Jadi, obligasi mereka ada dua sekarang. Meskipun obligasi syariahnya, tidak sebesar obligasi nonsyariah. Tumbuhnya obligasi syariah tidak diikuti obligasi konvensional. Tingginya SBI menjadi salah satu penyebabnya. Pangsa obligasi konvensional dimulai sejak awal semester II tahun lalu atau Juni 2005. Banyak emiten yang memilih mengkaji lagi rencana penerbitan obligasi karena bunganya tinggi. Penyebab lainnya pasar reksadana dilanda redemption. Hal tersebut turut menyebabkan pasar obligasi konvensional tidak kondusif saat ini.  Diprediksikan obligasi konvensional baru akan tumbuh pada semester kedua. Alasannya, pasar termotivasi sejumlah kebijakan yang dijanjikan pemerintah yakni akan mengkaji ulang untuk menekan SBI pada semester kedua.[3] Dengan melihat beberapa fakta yang dikemukakan di depan sebenarnya obligasi syariah memiliki beberapa keunggulan bila dibandingkan dengan obligasi konvensional.
Akan tetapi, yang kita harapkan sekarang adalah jangan samapai akhirnya syariah yang menempel pada obligasi syariah ternyata hanya sebatas label saja. Diharapkan setelah keunggulan yang dimiliki bisa kita manfaatkan untuk menarik nasabah sebanyak-banyaknya, pengawasan terhadap pelaksanaan di lapangan juga perlu mendapatkan pengawasan yang serius. Sehingga obligasi syariah tidak hanya booming di awal, akan tetapi juga bisa terus selama-lamanya sesuai dengan koridor-koridor syariahnya.






KESIMPULAN

Indonesia dengan jumlah penduduknya yang beragama Islam merupakan pangsa pasar yang bagus bagi perekonomian berbasis syariah. Apalagi semenjak ada konvergensi pendapat bahwa bunga adalah riba, maka instrumen-instrumen yang punya komponen bunga (interest-bearing instruments) akhir-akhir ini mulai ditinggalkan oleh orang-orang yang selama ini menggunakannya. Karena itu, dimunculkan instrumen-instrumen alternatif yang lain dalam perekonomian syariah yang salah satunya adalah obligasi syariah.
Obligasi dan bunga merupakan satu kata yang tidak dapat dipisahkan sehingga merupakan sesuatu yang mustahil untuk bisa diberikan label syariah. Namun sebagaimana pengertian bank syariah adalah bank yang menjalankan prinsip syariah, tetap menghimpun dan menyalurkan dana, tetapi tidak dengan dasar bunga, demikian juga adanya pergeseran pengertian pada obligasi. Dalam hal obligasi syariah, kupon yang diberikan tidak lagi berdasarkan bunga, tetapi bagi hasil atau margin/fee. Risiko investor di obligasi syariah sebetulnya mirip saja dengan investor obligasi dengan bunga mengambang. Berbedanya adalah, struktur syariah ini sesungguhnya lebih menawarkan "keadilan".
Segala sesuatu memang akan menemukan suatu tantangan. Hal ini tidak dapat kita hindari dan merupakan sesuatu yang harus kita hadapi. Obligasi syariah memiliki berbagai macam keunggulan jika dibandingkan dengan obligasi konvensional. Oleh karenanya masyarakat harus tahu mengenai keunggulan yang dimiliki oleh obligasi syariah ini. Di Indonesia, yang digunakan dalam penerbitan obligasi syariah adalah struktur Mudharabah (bagi hasil pendapatan) baik yang telah diterbitkan maupun yang akan diterbitkan dalam waktu dekat. Sehingga, yang dikenal adalah obligasi syariah mudharabah.
Sejak konsep syariah diintroduksikan ke obligasi setidaknya masyarakat memiliki alternatif untuk memilih obligasi mana yang akan mereka gunakan. Sosialisasi merupakan suatu keharusan yang harus ditempuh. Bagi masyarakat yang teguh menerapkan prinsip syariah dalam berbagai aspek kehidupannya, sudah barang tentu mereka akan memilih instrumen yang berbasis syariah. Pertimbangan untuk menerbitkan instrument syariah oleh berbagai pelaku ekonomi dirasakan cukup rasional, mengingat bahwa instrument syariah tidak mengacu pada bunga yang flat atau fluktuatif yang sangat tergantung pada kondisi moneter pada suatu negara. Oleh karena itu pemberitahuan kepada masyarakat merupakan suatu point yang sangat penting untuk dilakukan.
Walaupun bila dibandingkan dengan negara sahabat semisal Malaysia kita kalah dalam pengembangan obligasi syariah, namun prospek yang kita miliki tidak kalah menariknya. Salah satu indikasi pertumbuhan dan perkembangan obligasi syariah pada beberapa tahun belakangan ini dapat dilihat dari maraknya penawaran umum perdana obligasi syariah dengan akad Ijarah. Selain itu penerbit obligasi syariah yang terdaftar di BAPEPAM juga sudah banyak. Dengan prospek yang baik tersebut diharapkan dalam pelaksanaan dan pengelolaan obligasi syariah melenceng dari koridor yang ada sehingga hasil akhir yang diperoleh adalah semakin berkembangnya obligasi syariah di Indonesia.

 by: Tantowi Azizi Sahoed











[1] Ngapon, Semarak Pasar Modal Syariah, Jurnal BAPEPAM edisi 19 April 2005.
[2] www.bapepam.go.id
[3] Republika, Obligasi Syariah Diprediksi Naik 20 Persen, edisi Sabtu 14 Januari 2006.

No comments:

Post a Comment