Blog Archive

Thursday 9 July 2015

Mekanisme Privatisasi BUMN Sebagai Sebuah Solusi

PENDAHULUAN

Krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 di Indonesia telah membawa dampak yang sangat luas dan telah berkembang menjadi krisis multidimensi, dan hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai salah satu pelaku utama dalam pembangunan ekonomi nasional. Kondisi BUMN dan penanganan aset negara saat ini belum memuaskan, banyak BUMN yang dengan dalih untuk memulihkan misi sosial telah mengabaikan efisiensi dalam pengelolaan bisnis utamanya. Sudah menjadi suatu fenomena global dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan dan mengurangi beban pemerintah, Badan-Badan Usaha Milik Negara (government owned-companies) diarahkan untuk melakukan privatisasi (privatisation). Meskipun demikian harus disadari bahwa tidak semua BUMN dapat diprivatisasi, fungsi kepentingan pelayanan publik (public service obligation) harus tetap diperhatikan, maka harus dibuat kerangka regulasi proses privatisasi BUMN ini.
Pembicaraan mengenai privatisasi di tanah air kembali meluas sejak beberapa waktu belakangan ini. Jika dicermati, maka fenomena tentang gagasan tersebut selalu muncul pada saat perekonomian nasional, khususnya keuangan negara dalam kesulitan. Mengikuti fenomena yang terjadi di negara-negara lain yang gencar melakukan proses privatisasi BUMN, pada pertengahan tahun 1980-an, pemerintah mulai mengkaji dan mempelajari secara serius kemungkinan privatisasi BUMN, yang citranya di tanah air tidak begitu baik. BUMN sering dianggap sebagai unit ekonomi yang tidak efisien, dan umumnya bisa bertahan karena proteksi dan fasilitas pemerintah.
Demikian pula saat ini, ketika perekonomian di Indonesia dilanda krisis, yang tercermin dari adanya resesi, neraca pembayaran yang mengalami goncangan, dan keuangan negara mengalami kesulitan untuk menutup kesulitan pos-pos pengeluarannya. Telah muncul secara gencar gagasan-gagasan dan agenda aksi yang terkadang-kadang terkesan sangat tergesa-tergesa untuk secepatnya memprivatisasi BUMN-BUMN, yang saat ini jumlahnya mencapai kurang lebih 161 unit usaha tersebut.[1]
Untuk proses privatisasi itu sendiripun tidak serta-merta mudah. Maksud mudah di sini adalah dengan melihat gambaran dalam proses privatisasi tersebut bukan pada hasil atau akibat. Hal ini terjadi karena ternyata citra BUMN selama ini tidaklah begitu baik, antara lain karena dianggap sebagai sarang KKN, sumber pemerasan dari birokrat, tidak membawa manfaat bagi masyarakat banyak maupun sekitarnya, tidak memperoleh hasil/keuntungan kecuali dengan berbagai subsidi, konsesi (perizinan) dan lain-lain yang  menyebabkan BUMN memperoleh citra negatif  bahkan tidak disukai oleh pemiliknya sendiri, yaitu  rakyat Indonesia. Memang sebuah tragedi yang sangat ironis sesuatu yang mestinya bisa menyumbang bagi negeri ternyata malah membebani kehidupan rakyat Indonesia sendiri.
Salah satu kendala yang selama ini dihadapi adalah intervensi dari birokrasi,  belum lagi ditambah rongrongan dari politisi yang tidak dapat dicegah, karena tidak jelasnya fungsi dan peran masing masing. Pola pengelolaan selama ini masih mengandung berbagai kelemahan dalam menuju kepada good corporate governance
Pertanyaan yang mendasar dengan adanya privatisasi BUMN ini apakah langkah ini akan menguntungkan bagi bagi bangsa Indonesia itu sendiri ataukah merugikan ataukah malah privatisasi tersebut akibat dari adanya kebobrokan dalam diri BUMN itu sendiri. Jika kita melihat kasus di depan yaitu adanya citra buruk dalam diri BUMN, maka sesuatu yang mungkin jika rongrongan dari dalamlah yang sebenarnya membuat BUMN di Indonesia perlu diprivatisasi. Satu kasus yang sering kita dengar dan memang merupakan sesuatu yang sudah menjadi fakta adalah adanya korupsi yang terjadi di tubuh BUMN. Sebagai bukti saat ini, ada 20 BUMN yang terindikasi korup. Namun, bahwa di semua BUMN di negeri ini ada korupsi, walaupun derajatnya berbeda-beda.[2] Jadi, sebenarnya privatisasi tidak dilakukan apabila BUMN sehat, sedangkan hal yang membuat sehat diantaranya tidak adanya suatu rongrongan dari dalam seperti korupsi.
Akan tetapi jika kita melihat sisi lain dari keberadaan ekonomi Indonesia yang akhir-akhir ini carut marut tidak karuan, privatisasi bisa jadi merupakan suatu solusi untuk mengatasi permasalahan yang ada atau jangan-jangan privatisasi hanya satu-satunya solusi yang bisa diterapkan untuk bisa menolong kelangsungan hidup BUMN itu sendiri.
Pertimbangan dan tujuan dari privatisasi dari setiap negara berbeda-beda, pertimbangan aspek politis  yang utama dari privatisasi mencerminkan adanya kesadaran bahwa beban pemerintah sudah terlalu besar, sementara sektor swasta lebih dapat melakukan banyak hal secara efisien dan efektif dibandingkan dengan lembaga pemerintah dan kegiatan-kegiatan yang terkait bisnis.
Privatisasi, dalam perspektif nasionalisme  memegang peranan penting dalam pembangunan perekonomian nasional. Penjualan asset publik kepada pihak swasta mengurangi peran pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya publik kepada masyarakat. Orientasi pembangunan yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi yang pesat menuntut partisipasi pihak swasta dan asing untuk secara aktif terlibat dalam proses pembangunan nasional.
Dengan mengacu pada beberapa kasus di atas, privatisasi dilakukan tergantung dari hal yang mendasari terjadinya privatisasi tersebut. Apabila pemerintah ingin mengajak swasta berpartisipasi dalam pembangunan, privatisasi bisa sebagai salah satu jalan asalkan kepentingan publik tidak tergadaikan. Yang harus diwaspadai adalah jangan sampai privatisasi ini adalah akibat dari ketidakberesan yang terjadi dalam BUMN tersebut. Jadi, privatisasi dilakukan karena adanya i’tikad baik dari pemerintah untuk merangkul swasta. Sebaliknya privatisasi tidak perlu jika pemerintah merasa mampu mengorganisir BUMN yang dimilikinya terutama kepada BUMN yang berhubungan dengan kepentingan umum.



MEKANISME PRIVATISASI BUMN
SEBAGAI SEBUAH SOLUSI

A. PRIVATISASI BUMN
            Privatisasi atau swastanisasi adalah melepaskan sebagian atau seluruh saham kepada pihak swasta, baik itu secara langsung maupun melalui pasar modal (go public).[3]
            Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara Privatisasi adalah penjualan saham Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Sedangkan Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2001 Tentang Tim Konsultasi Privatisasi Badan Usaha Milik Negara,  Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya disebut BUMN Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (PERSERO). Sedangkan Privatisasi BUMN adalah penjualan saham milik negara Negara Republik Indonesia pada BUMN dan atau pengeluaran saham baru BUMN.
Adapun maksud dari dilakukannya privatisasi adalah:
  1. memperluas kepemilikan masyarakat atas Persero;
  2. meningkatkan efisiensi dan produktivitas perusahaan;
  3. menciptakan struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat;
  4. menciptakan struktur industri yang sehat dan kompetitif;
  5. menciptakan Persero yang berdaya saing dan berorientasi global;
  6. menumbuhkan iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
Privatisasi dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Privatisasi dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas, pertanggungjawaban, dan kewajaran. Sejalan dengan usaha meningkatkan kehandalan sektor swasta, Dr. Ir. Roy H. M. Sembel, MBA menilai bahwa langkah privatisasi BUMN telah memperoleh momentum dan langkah-langkah privatisasi BUMN itu perlu dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang.[4]
Gagasan privatisasi sangat gencar terjadi pada waktu perekonomian yang sedang dilanda kesulitan. Paling tidak ada tiga kondisi atau faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, pada masa sulit orang akhirnya mencari-cari jalan keluar yang mungkin ditempuh, sehingga semua sumber daya dapat dimanfaatkan secara optimal. Dalam hal ini BUMN dilihat sebagai sosok unit usaha yang tidak efisien dan belum optimal kinerjanya, sehingga dianggap berpeluang untuk dibenahi. BUMN masih dianggap sebagai unit ekonomi yang boros, kurang efisien, salah urus, tidak profesional, dan penilaian negatif lainnya. Dari sisi ini privatisasi dianggap sebagai upaya untuk penyehatan atau peningkatan efisiensi BUMN tersebut. Dana privatisasi bisa digunakan untuk memperluas investasinya, dan manajemen yang baru diharapkan pula bisa memperbaiki kinerja perusahaan. Dengan demikian hal ini merupakan upaya internal yang terkait langsung dengan kepentingan BUMN tersebut, yakni ingin menjadikannya sebagai unit usaha yang kinerjanya sesuai dengan kaidah-kaidah bisnis umumnya, walaupun tanpa bisa melepaskan sama sekali misi BUMN yang juga mengemban misi sosial dan perannya sebagai agent of development. Kedua, membantu kesulitan keuangan negara dan problematik perekonomian nasional pada umumnya. Dalam hal ini bisa saja sebagai unit usaha BUMN ini dirugikan atau dikorbankan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di luar BUMN tersebut. Misalnya, karena tuntutan untuk memperoleh devisa guna mengatsi gejolak kurs yang ada, atau untuk memenuhi kewajiban internasional kita, maka BUMN terpaksa dilepas kepada pihak asing, atau pihak-pihak yang bisa memasukkan devisa segar ke dalam negeri. Jadi, privatisasi BUMN ini lebih diorientasikan pada pencarian dana segar yang perolehannya tidak digunakan untuk keperluan investasi atau pengembangan perusahaan.
            Ketiga, untuk menarik masuknya modal asing. Sekarang ini kebutuhan devisa di tanah air sangat mendesak, baik untuk memenuhi kewajiban internasional yang sudah jatuh tempo maupun untuk memenuhi impor kebutuhan barang pokok dan input industri dalam negeri. Lebih dari itu, masuknya devisa tersebut sangat dibutuhkan pula untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang saat ini fluktuasinya tinggi, dan berada pada posisi kurs yang sangat lemah terhadap mata uang dunia.
            Dalam konteks privatisasi BUMN di tanah air saat ini, yang seakan ingin segera mungkin melakukan privatisasi, faktor kedua dan ketiga ini agaknya cukup dominan yang mendorong pemerintah melepas saham-saham BUMN ini. Karena desakan tuntutan untuk memperoleh dana segar, muncul kasusu-kasus rencana penjualan BUMN yang dianggap terlalu murah dan tidak umum, seperti kasus rencana privatisasi PT Krakatau Steel dan PT Semen Gresik. Akibatnya muncul banyak kritik dan polemik tentang privatisasi tersebut, yang membuat masalah menjadi semakin tidak jelas.

B. MEKANISME PRIVATISASI BUMN
            Dasar utama mekanisme privatisasi ini terutama adalah pemikiran bahwa aktivitas ekonomi dan bisnis lebih baik diserahkan kepada swasta, karena usaha yang dikelola swasta umumnya lebih efisien. Ini didasarkan pada berbagai penelitian yang pernah dilakukan, yang membandingkan unit usaha swasta dan negara dalam bidang yang sama, yang selalu berakhir dengan kesimpulan bahwa usaha swastalah yang lebih efisien, dan usaha negara cenderung tidak efisien dan menjadikan kinerja perekonomian masyarakat dibebani ekonomi biaya tinggi.[5]
            Oleh karena itu, dengan penyerahan unit-unit usaha BUMN pada swasta, maka pemerintah dapat lebih mengkonsentrasikan aktivitas dan dananya pada kegiatan-kegiatan untuk menjalankan roda pemerintahan tanpa terlibat pada urusan bisnis. Di samping itu, privatisasi dianggap juga sebagai langkah lebih mendemonstrasikan ekonomi, karena masyarakat dapat masuk ke semua bidang usaha. Walaupun pemikiran demikian juga banyak ditentang, namun yang terjadi adalah mekanisme privatisasi ini terus menggelinding.
Menurut Sri Mulyono privatisasi dan mekanismenya dapat diramalkan dengan melihat pertumbuhan perekonomian yang terjadi di suatu negara dalam suatu periode tahun tertentu. Di Indonesia misalnya pada periode 1980-1981 terjadi pertumbuhan ekonomi yang tinggi dimana pada periode itu ditandai dengan harga minyak yang dua kali lipat dibanding periode sebelumnya. Tahun 1986 ketika harga minyak turun tajam, ekonomi Indonesia menjadi lesu. Pada tahun-tahun berikutnya Indonesia mulai bangkit kembali karena arus modal asing dan peningkatan ekspor non migas akibat reformasi perekonomian. Jadi, harga minyak, arus modal asing, ekspor non migas dan reformasi perekonomian merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi ekonomi. Dua faktor utama dicabangkan menjadi turun, tetap, naik. Elemen ketiga yaitu ekspor non migas dipecah menjadi subfaktor yaitu naik. Elemen terakhir pada tingkat dua, reformasi dipecah menjadi deregulasi yang berlanjut dengan privatisasi BUMN.[6]
            Mekanisme privatisasi ini sebenarnya dapat dilihat dari beberapa bentuk. Privatisasi antara lain bisa dilakukan dengan menjual penuh atau melepas sepenuhnya BUMN kepada perusahaan swasta. Artinya setelah dijual pemerintah tidak lagi mempunyai hak apa-apa lagi pada BUMN tersebut. Namun demikian, pemerintah selaku pemegang bisa melepas sebagian saja sahamnya kepada swasta, baik melalui kombinasi keduanya. Dalam konteks Indonesia, kebijakan dari Depkeu saat ini lebih mempriorotaskan pada penjualan saham di bursa efek (go public). Pemilik saham dominan tetap berada di tangan pemerintah.
Sebuah perusahaan yang akan going public dapat mengikuti prosedur yang terdiri dari tiga tahapan utama. Yang pertama adalah persiapan diri. Yang kedua adalah memperoleh ijin registrasi dari BAPEPAM. Yang ketiga adalah melakukan penawaran perdana ke publik (initial public offering) dan memasuki pasar sekunder dengan mencatatkan efeknya di bursa.
Persiapan untuk going public meliputi:
  1. Manajemen atau pemerintah harus memutuskan suatu rencana untuk memperoleh dana dari publik.
  2. Menugaskan pakar-pakar modal dan institusi-institusi pendukung untuk membantu.
  3. Mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan untuk penawaran ke publik.
  4. Mempersiapkan kointrak awal dengan bursa.
  5. Mengumumkan ke publik.
  6. Menandatangani perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan going public.
  7. Mendaftarkan ke agen peringkat.
  8. Mengirimkan pernyataan registrasi dan dokumen lainnya ke BAPEPAM.
Registrasi di BAPEPAM meliputi:
  1. Menerima pernyataan registrasi.
  2. Pengumuman terbatas di BAPEPAM.
  3. Mempelajari dokumen-dokumen yang diperlukan.
  4. Deklarasi pernyataan registrasi efektif berlaku.
Pencatatan di Bursa meliputi:
  1. Emiten mengisi dan menyerahkan aplikasi yang formulirnya disediakan oleh BEJ.
  2. BEJ akan mengevaluasi aplikasi ini berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan.
  3. Jika aplikasi memenuhi kriteria, BEJ menyetujuinya.
  4. Emiten kemudian membayar biaya jasa pencantuman (listing fee).
  5. BEJ kemudian akan mengumumkan pencantuman dari sekuritas ini.[7]
            Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara privatisasi dilaksanakan dengan cara:
  1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal.
Yang dimaksud dengan penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal antara lain adalah penjualan saham melalui penawaran umum (Initial Public Offering/go public), penerbitan obligasi konversi, dan efek lain yang bersifat ekuitas. Termasuk dalam pengertian ini adalah penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement) bagi BUMN yang telah terdaftar di bursa.
  1. Penjualan saham langsung kepada investor.
Sedangkan yang dimaksud dengan penjualan saham langsung kepada investor adalah penjualan saham kepada mitra strategis (direct placement) atau kepada investor lainnya termasuk financial investor. Cara ini, khusus berlaku bagi penjualan saham BUMN yang belum terdaftar di bursa.
  1. Penjualan saham kepada manajemen dan atau karyawan yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan penjualan saham kepada manajemen (Management Buy Out/MBO) dan atau karyawan (Employee Buy Out/EBO) adalah penjualan sebagian besar atau seluruh saham suatu perusahaan langsung kepada manajemen dan/atau karyawan perusahaan yang bersangkutan.
Hasil privatisasi dengan cara penjualan saham disetorkan langsung ke kas negara. Hasil privatisasi yang disetorkan ke Kas Negara adalah hasil divestasi saham milik negara. Sedangkan bagi penjualan saham baru, hasilnya disetorkan ke kas perusahaan. Bagi hasil privatisasi anak perusahaan BUMN, hasil privatisasinya dapat ditetapkan sebagai dividen interim. Yang dimaksud dengan hasil privatisasi adalah hasil bersih setelah dikurangi biaya-biaya pelaksanaan privatisasi. Biaya pelaksanaan privatisasi harus memperhatikan prinsip kewajaran, transparansi dan akuntabilitas.
            Dalam melakukan privatisasi harus didahului dengan tindakan seleksi atas perusahaan-perusahaan dan mendasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Kemudian terhadap perusahaan yang telah diseleksi dan memenuhi kriteria yang telah ditentukan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri Keuangan, selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat serta dikonsultasikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Perusahaan yang sedang berkembang membutuhkan dana yang berasal dari modal sendiri maupun utang untuk membangun bisnisnya. Strategi yang berkaitan dengan sumber-sumber dana ini merupakan strategi bisnis yang penting karena komposisi utang dan modal sendiri yang optimal akan menghindarkan perusahaan dari kesulitan keuangan dan akan memaksimalkan nilai perusahaan di kemudian hari. Untuk mengetahui bauran pendanaan ini, manajemen perusahaan perlu memahami pendapat para ahli keuangan dan alat analisis yang akurat.[8]
            Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2001 Tentang Tim Konsultasi Privatisasi Badan Usaha Milik Negara privatisasi dilakukan dengan cara:
    1. Penjualan saham kepada masyarakat melalui penawaran umum maka pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan perundang-undangan di bidang pasar modal.
    2. Penjualan saham secara langsung kepada mitra strategis maka hal tersebut dilakukan secara transparan.
            Ketetapan MPR-RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara  Tahun 1999-2004 yang telah mengamanatkan agar dilakukan penyehatan BUMN terutama yang usahanya berkaitan dengan kepentingan umum. BUMN yang usahanya tidak berkaitan dengan kepentingan umum didorong untuk privatisasi melalui pasar modal. Disamping itu privatisasi sebagai bagian dari kebijakan publik diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan sektor publik. Privatisasi juga dinyatakan sebagai salah satu kebijakan strategis yang dilakukan  oleh manajemen BUMN untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan badan usaha milik negara. Pelaksanaan privatisasi diharapkan dapat menciptakan good corporate governance dilingkungan badan usaha milik negara sekaligus juga mewujudkan good public governance di sektor publik.[9]
Walaupun pemerintah tetap mendominasi saham BUMN yang sebagian sudah terjual, namun demikian langkah ini tetap akan memberikan dampak positif dalam manajemen BUMN yang acap kali dinilai kurang profesional itu. Dengan penjualan saham, maka BUMN menjadi perusahaan publik yang pengelolaannya mau tidak mau harus lebih profesional dengan tingkat keterbukaan (transparansi) yang tinggi. Kontrol yang lebih luas dari para pemegang saham akan membuat eks-BUMN lebih berhati-hati dalam operasionalnya, dan lebih berorientasi pada perbaikan kinerja perusahaan. Pos-pos pengeluaran yang tidak perlu yang dapat mempertinggi biaya perusahaan, misalnya dapat dikendalikan. Jadi, budaya yang sebelumnya masih menyisakan budaya birokrat, harus diganti dengan budaya yang berorientasi bisnis, dengan karakteristik yang responsif terhadap perkembangan pasar dan berupaya untuk bertindak agresif, produktif, dan efisien. Di sisi lain bagi pemerintah ini mengandung konsekuensi pula untuk tidak bisa terlalu jauh campur tangannya dalam manajemen BUMN tersebut.
            Perkembangan yang terjadi di tanah air dan global saat ini telah membuat langkah privatisasi semakin mendesak untuk dilakukan atas BUMN tanah air. Di samping beberapa faktor yang sudah dikemukakan sebelumnya. Paling tidak ada tiga alasan umum lainnya, baik dilihat dari kondisi internal BUMN maupun kondisi eksternal dan global yang ada, untuk melakukan privatisasi tersebut. Pertama, wajah BUMN di tanah air sebagian masih menampakkan sosok buram yang mencerminkan kinerja yang tidak baik. Kedua, perkembangan ekonomi dunia yang masih terbuka dan liberal menuntut setiap unit usaha bertindak profesional dan menekankan kinerja yang berorientasi pada efisiensi. Ketiga, kecenderungan demokratisasi dalam aktivitas ekonomi domestik agaknya juga akan lebih menguntungkan pemerintah untuk menanggalkan sebagian usahanya untuk diserahkan kepada swasta.
            Melihat perkembangan tersebut, maka dalam konteks privatisasi BUMN di tanah air, seharusnya dibatasi pada menjual sebagian sahamnya kepada khalayak, melainkan juga bisa secara penuh. Privatisasi seperti ini memang hanya terbatas padsa sektor yang memang diminati swasta dan tidak menyangkut kepentingan rakyat banyak. Namun demikian untuk unit usaha yang secara teknis masih mampu ditangani oleh BUMN dan dapat memberikan keuntungan pada pemerintah.
            Proses privatisasi memang tidak bisa diterapkan begitu saja pada semua BUMN. Sebagaimana amanat konstitusional kita ada cabang-cabang yang memang harus dikuasai oleh negara seperti yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak. Oleh karena itu perlu ada pengkategorian yang jelas mengenai sektor yang menguasai hajat hidup orang banyak.
            Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara pasal 76 dan 77 dijelaskan persero mana yang boleh dan tidak untuk diprivatisasi. Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria:
    1. industri atau sektor usahanya kompetitif; atau
Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN.
    1. industri /sektor usaha yang unsur teknologinya cepat berubah.
Yang dimaksud dengan industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya.


            Sedangkan persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
  1. Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN;
  2. Persero yang bergerak di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
  3. Persero yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat;
  4. Persero yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk diprivatisasi.
            Jadi, dalam upaya privatisasi ini bukanlah semata-mata pada pengetahuan atau konsep gagasannya, namun yang lebih penting adalah kemauan riil melaksanakan konsep-konsep yang dimiliki tersebut dalam tataran operasionalnya.[10]

C. REFORMASI PRIVATISASI SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN
            Tuntutan untuk mewujudkan adanya kompetisi yang lebih bebas dan jujur dalam perekonomian dan upaya deregulasi serta privatisasi sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari upaya menekan tentang terjadinya praktek korupsi yang menimbulkan ketidak efisienan. Langkah-langkah gencar ke arah privatisasi terhadap sebagian BUMN besar oleh Menteri Pendayagunaan BUMN saat ini agaknya bisa dianggap sebagai contoh upaya peningkatan TFP (total factor productivity/tingkat pertumbuhan produktivitas input total) pada BUMN di tanah air. Argumen yang sering dikemukakan oleh menneg BUMN adalah untuk memperbaiki iklim investasi dengan cara mempercepat pemulihan kepercayaan para investor. Selain terkesan sangat absurd, argumen yang terkesan sangat dipaksakan tersebut jelas mengungkapkan adanya keinginan yang sangat kuat untuk terus memaksakan pelaksanaan privatisasi dalam kondisi apa pun. Dalam bahasa yang lebih gamblang, kecenderungan untuk mengobral BUMN itu tentu tidak dapat diartikan lain kecuali sebagai pertanda dari keinginan yang sangat kuat untuk meneruskan rampokisasi.[11] Hanya saja proses privatisasi itu sendiri bisa menjadi sumber korupsi dan kolusi terutama pada masa transisi. Hal ini terjadi manakala proses privatisasinya tidak transparan dan tidak didukung aturan hukum yang lebih jelas dan dipercaya. Kasus yang ramai dibicarakan sekitar tahun 1998 yang lalu yang menyangkut privatisasi PT Krakatau Steel yang akhirnya dibatalkan agaknya bisa dianggap contoh kurangnya keterbukaan dalam rencana proses privatisasi sehingga yang muncul adalah adanya pihak-pihak yang ingin memperoleh rente-ekonomis dari privatisasi ini.[12]
            Oleh karenanya sangat menarik untuk menganalisis adanya tindak pidana korupsi di BUMN. Sebenarnya pemberantasan korupsi di tubuh BUMN sudah diusahakan oleh pemerintah terbukti dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 5 tahun 2004, tentang percepatan pemberantasan korupsi. Selain itu pada Penyelenggara Negara sesuai Pasal 5 angka 4 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) telah digariskan untuk tidak melakukan perbuatan KKN. Menteri, Direksi dan Komisaris BUMN sesuai UU No. 28 Tahun 1999 Pasal 2 angka 3 dan 7 berikut Penjelasan termasuk Penyelenggara Negara.[13] Konsep memang sudah ada, tinggal bagaimana pelaksanaannya.      
            Indonesia sebenarnya mempunyai sektor BUMN yang besar, sayangnya sektor tersebut tidak bisa dikelola secara efektif. Sebenarnya ada keinginan yang kuat untuk memperbaiki sektor ini dengan meningkatkan efisiensi dan meningkatkan dividen yang harus dikembalikan kepada pemerintah dan masyarakat. Isu ini menjadi sangat rumit sehingga reformasi dalam BUMN tidak dapat dihindari sebagai isu jangka menengah.

            Perbaikan di BUMN paling tidak meliputi:
  • Lingkungan pasar yang bersaing (monopoli swasta tidak lebih daripada monopoli pemerintah).
  • Korporatisasi BUMN untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan itu dikelola atas dasar komersial yang efektif.
  • Tujuan masyarakat yang ditugaskan pada BUMN perlu dirinci dengan jelas dan harus ada tunjangan untuk penyediaan yang memadai.
  • Prosedur laporan yang tepat dan transparan dalam memantau kinerja BUMN.
Pemerintah dapat mendorong reformasi BUMN melalui berbagai cara dan sarana termasuk menghapus hak monopoli BUMN (misalnya Pertamina sebagai distributor tunggal minyak nasional) dan memperkenalkan persyaratan bahwa BUMN harus memenuhi target kinerja keuangan yang dapat diterima (dengan dicatat secara terbuka dan eksplisit). Keputusan dari pemegang saham setempat yang relevan harus diperhitungkan. Bantuan yang tadinya disalurkan melalui BUMN mungkin harus datang langsung dari anggota pemerintah.
Pengaturan BUMN harus dilakukan dengan cara yang terbuka dan transparan sama sekali. Jika dilakukan privatisasi sebaiknya kepemilikannya sebagian besar berada di tangan swasta untuk memastikan bahwa pemilik baru dapat memperkenalkan perbaikan di tingkat perusahaan yang penting.[14]
Proses privatisasi dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta peran serta masyarakat. Selain meningkatkan kualitas domestik, BUMN juga mampu bersaing dalam dunia global. Rumusan visi inilah yang dijadikan landasan bagi seluruh perusahaan BUMN. Dengan demikian, mereka bisa memperoleh untung, membayar pajak, dan membagikan laba kepada pemegang saham. Semua itu terangkum dalam master plan BUMN 2002-2006. Kementerinan BUMN punya strartegi yang dibagi dalam tiga periode. Periode konsolidasi tahun 2002, revitalisasi tahun 2003-2004, dan pertumbuhan pada tahun 2005-2006. Langkah awal adalah upaya koordinasi dan monitoring, akselerasi penyehatan, pelaksanaan GCG, kebijakan otonomi daerah, penyusunan Undang-Undang BUMN, serta restrukturisasi dan privatisasi. Pada periode selanjutnya, badan usaha diharapkan bisa meningkatkan harga saham, mengefektifkan manajemen, meningkatkan operasional, pelayanan dan pendapatan, pengadaan barang dan jasa, serta restrukturisasi dan privatisasi. Terakhir periode pertumbuhan pada 2005-2006. Strategi diperiode ini diarahkan pada pengembangan bisnis dan kelanjutan proses privatisasi.[15]




KESIMPULAN

            Dalam rangka menyelamatkan dan mendayagunakan aset negara, serta mengoptimalkan potensi yang ada dalam BUMN untuk kepentingan ekonomi nasional dan rakyat banyak, maka sudah saatnya kita menkaji ulang apa yang seharusnya dilakukan untuk melakukan suatu tindakan nyata pada BUMN guna mengobati penyakitnya yang selama ini mendera dan bersarang di tubuh BUMN.
            Bagi dunia bisnis dan masyarakat luas, kebijakan privatisasi BUMN merupakan tantangan dan sekaligus peluang dalam mengembangkan unit ekonomi masing-masing. Privatisasi BUMN berarti ada usaha untuk memperbaiki kinerja BUMN, hal ini menjadi pesaing yang berarti bagi unit-unit usaha swasta yang sejenis. Namun demikian persaingan ini tidak menjadi ancaman yang berarti bagi dunia usaha karena dilakukan dengan cara yang fair karena BUMN yang ada seharusnya untuk berkembang dengan tanpa mengandalkan fasilitas yang diskriminatif dari pemerintah.
            Dunia usaha dan masyarakat juga mempunyai peluang untuk memiliki saham-saham BUMN yang akan dilepas di pasar modal. Sebagian perusahaan negara tersebut, jika dikelola dengan manajemen yang profesional, mempunyai peluang besar untuk memperoleh laba yang banyak. Kepemilikan saham BUMN ini memberikan peluang tidak saja bagi pemilik dana besar untuk berpartisipasi dalam kepemilikan saham BUMN, melainkan juga setiap individu yang mempunyai dana terbatas. Hanya saja dalam kondisi perekonomian yang seperti sekarang ini tidak mudah bagi BUMN untuk melakukan privatisasi di pasar modal tersebut. Kepemilikan saham harus menjadi aspek perhatian yang serius dari pemerintah. Jika BUMN tersebut menyangkut hajat hidup rakyat banyak Indonesia, pemerintah harus membatasi kepemilikan saham swasta pada BUMN yang bersangkutan. Intinya pemerintah menjadi pemilik saham dominan. Misal pada kasus privatisasi PT Indosat seharusnya pemerintah mengkaji ulang kebijakan yang akan dilakukan mengingat vitalnya BUMN yang satu ini. Pemerintah sebenarnya bisa saja melukan privatisasi dengan swasta nasional jika memang dirasa sudah tidak ada jalan keluar lagi untuk menyelesaikannya, sehingga pemerintah masih bisa mengawasi lebih banyak. Ataupun jika memang BUMN tersebut layak untuk diprivatisasi dengan tujuan untuk mengajak swasta terlibat dalam pembangunan, seleksi yang baik harus dilakukan kepada perusahaan yang akan menjadi mitra privatisasi. Walaupun hal tersebut sudah terjadi kita bisa memulai dari awal dalam memulai menata kembali perekonomian negara ini. Walaupun kita berbenturan dengan moral yang buruk dari para pelaku ekonomi sendiri, paling tidak kita bisa membuat semacam aturan yang kemudian kita laksanakan secara bersama-sama.
            Proses Privatisasi BUMN hendaknya dilakukan secara cermat, dan bermanfaat  dengan memperhatikan timing yang tepat dengan kriteria yang jelas BUMN mana saja yang boleh di privatisasi. Privatisasi hendaknya diarahkan dengan cara menjual saham baru  dan Pemerintah dapat ikut ikut  menjual saham lama . Dengan cara ini, pemerintah dan perusahaan sama-sama mendapatkan dana segar  yang bermanfaat untuk menggerakkan ekonomi.
            Perlu diakui bahwa Indonesia memang membutuhkan devisa yang mendesak untuk kelangsungan pembangunannya. Privatisasi BUMN bisa jadi sebagai jalan untuk mendapatkan devisa tersebut. Akibat dari adanya privatisasi harus dicermati dengan baik mengenai apa untung ruginya. Selain itu kebijakan-kebijakan dalam sektor lain juga perlu diperhatikan, jangan sampai kita hanya mengandalkan privatisasi BUMN sebagai satu-satunya malaikat penolong. Kebijakan-kebijakan ini meliputi sektor keuangan yang dihidupkan kembali, hak-hak properti yang aman, perbaikan ataupun reformasi di tubuh BUMN itu sendiri, keleluasaan modal asing, peramalan dan kredibilitas kebijakan, akses atau prasarana fisik yang baik mutunya dan pekerja-pekerja yang terlatih.
            Dalam sejumlah industri yang berciri tingkat konsentrasi tinggi, masalah terutama bersumber pada proteksi atas barang-barang masuk yang diciptakan pemerintah terutama dimana BUMN selalu ada. Jelas penyelesaiannya perlu dilakukan dengan menghilangkan proteksi pada sumbernya dan bukan dengan mendirikan badan administrasi yang lebih kompleks.

by: Tantowi Azizi Sahoed




[1] Sumaryanto Widayatin, Mempercepat Penanganan Aset dan Privatisasi BUMN, MCSE dalam Kursus Regular Angkatan XXXV Lemhanas tahun 2002, buletin BAPEKIN
[2] Sunarsip, Di Setiap BUMN Ada Korupsi, Media Akuntansi edisi September 2005.
[3] J. Boston (1998), sebagaimana dikutip Mardjana, Jurnal Keuangan dan Moneter, edisi Desember 1994.
[4] Jakob Tobing, Perekonomian Indonesia Menyongsong Abad XXI, Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1998, hal. xxii.
[5] Bacellius Ruru (1996, hal. 40) sebagaimana dikutip Edi Suandi Hamid dan M. B. Hendrie Anto, Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III, UII Press: Yogyakarta, 2000, hal. 67.
[6] Sri Mulyono, Peramalan Bisnis dan Ekonometrika, BPFE: Yogyakarta, 2000, hal. 190-196.
[7] Jogianto, Teori Portofolio dan Analisis Investasi, BPFE: Yogyakarta, 2000, hal. 50-54.
[8] Agnes Sawir, Kebijakan Pendanaandan Restrukturisasi Perusahaan, PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta 2004.
[9] Setyanto P. Santosa, Implementasi Privatisasi BUMN dan Pengaruhnya Terhadap Nasionalisme, Kolom Pakar, Pacific Link edisi April 2006.
[10] Edi Suandi Hamid dan M. B. Hendrie Anto, Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III, UII Press: Yogyakarta, 2000, hal. 64-78.
[11] Revrisond Baswir, Rampokisasi (4) – APBN 2003 dan Privatisasi BUMN, Republika edisi Senin 25 Nopember 2002.
[12] Edy Suandi Hamid, Perekonomian Indonesia – Masalah dan Kebijakan Kontemporer, UII Press: Yogyakarta, 2000, hal. 63.
[13] Tumpal Wagner Sitorus, Menyoal Tantiem untuk Direksi dan Komisaris Manakala BUMN Merugi, Media Akuntansi edisi September 2005 hal. 45.
[14] Anwar Nasution, Kompleksitas Pemulihan Ekonomi Indonesia (Menuju Tata Indonesia Baru), PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2000, hal. 67-73.
[15] Yandi M. R., Privatisasi BUMN Diharapkan Selesai 2006, Tempo Interaktif edisi 15 Desember 2003.

No comments:

Post a Comment