PENDAHULUAN
Krisis
moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 di Indonesia
telah membawa dampak yang sangat luas dan telah berkembang menjadi krisis
multidimensi, dan hal ini sangat besar pengaruhnya terhadap Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) sebagai salah satu pelaku utama dalam pembangunan ekonomi
nasional. Kondisi BUMN dan penanganan aset negara saat ini belum memuaskan,
banyak BUMN yang dengan dalih untuk memulihkan misi sosial telah mengabaikan
efisiensi dalam pengelolaan bisnis utamanya. Sudah menjadi suatu fenomena global dalam rangka
meningkatkan kinerja perusahaan dan mengurangi beban pemerintah, Badan-Badan
Usaha Milik Negara (government
owned-companies) diarahkan untuk melakukan privatisasi (privatisation). Meskipun demikian harus disadari bahwa tidak semua BUMN dapat
diprivatisasi, fungsi kepentingan pelayanan publik (public service obligation) harus tetap diperhatikan, maka harus
dibuat kerangka regulasi proses privatisasi BUMN ini.
Pembicaraan
mengenai privatisasi di tanah air kembali meluas sejak beberapa waktu
belakangan ini. Jika dicermati, maka fenomena tentang gagasan tersebut selalu
muncul pada saat perekonomian nasional, khususnya keuangan negara dalam
kesulitan. Mengikuti fenomena yang terjadi di negara-negara lain yang gencar
melakukan proses privatisasi BUMN, pada pertengahan tahun 1980-an, pemerintah
mulai mengkaji dan mempelajari secara serius kemungkinan privatisasi BUMN, yang
citranya di tanah air tidak begitu baik. BUMN sering dianggap sebagai unit
ekonomi yang tidak efisien, dan umumnya bisa bertahan karena proteksi dan
fasilitas pemerintah.
Demikian
pula saat ini, ketika perekonomian di Indonesia dilanda krisis, yang tercermin
dari adanya resesi, neraca pembayaran yang mengalami goncangan, dan keuangan
negara mengalami kesulitan untuk menutup kesulitan pos-pos pengeluarannya.
Telah muncul secara gencar gagasan-gagasan dan agenda aksi yang terkadang-kadang
terkesan sangat tergesa-tergesa untuk secepatnya memprivatisasi BUMN-BUMN, yang
saat ini jumlahnya mencapai kurang lebih 161 unit usaha tersebut.[1]
Untuk proses privatisasi itu
sendiripun tidak serta-merta mudah. Maksud mudah di sini adalah dengan melihat gambaran
dalam proses privatisasi tersebut bukan pada hasil atau akibat. Hal ini terjadi
karena ternyata citra BUMN selama ini tidaklah begitu baik, antara lain karena
dianggap sebagai sarang KKN, sumber pemerasan dari birokrat, tidak membawa
manfaat bagi masyarakat banyak maupun sekitarnya, tidak memperoleh
hasil/keuntungan kecuali dengan berbagai subsidi, konsesi (perizinan) dan lain-lain yang menyebabkan BUMN
memperoleh citra negatif bahkan tidak disukai oleh pemiliknya sendiri,
yaitu rakyat Indonesia. Memang sebuah tragedi yang sangat ironis sesuatu
yang mestinya bisa menyumbang bagi negeri ternyata malah membebani kehidupan
rakyat Indonesia sendiri.
Salah satu kendala yang selama
ini dihadapi adalah intervensi dari
birokrasi, belum lagi ditambah rongrongan dari politisi yang tidak dapat
dicegah, karena tidak jelasnya fungsi dan peran masing masing. Pola pengelolaan
selama ini masih mengandung berbagai kelemahan dalam menuju kepada good
corporate governance.
Pertanyaan yang mendasar
dengan adanya privatisasi BUMN ini apakah langkah ini akan menguntungkan bagi
bagi bangsa Indonesia itu sendiri ataukah merugikan ataukah malah privatisasi
tersebut akibat dari adanya kebobrokan dalam diri BUMN itu sendiri. Jika kita
melihat kasus di depan yaitu adanya citra buruk dalam diri BUMN, maka sesuatu
yang mungkin jika rongrongan dari dalamlah yang sebenarnya membuat BUMN di
Indonesia perlu diprivatisasi. Satu kasus yang sering kita dengar dan memang
merupakan sesuatu yang sudah menjadi fakta adalah adanya korupsi yang terjadi
di tubuh BUMN. Sebagai bukti saat ini, ada 20 BUMN yang terindikasi korup.
Namun, bahwa di semua BUMN di negeri ini ada korupsi, walaupun derajatnya
berbeda-beda.[2] Jadi,
sebenarnya privatisasi tidak dilakukan apabila BUMN sehat, sedangkan hal yang
membuat sehat diantaranya tidak adanya suatu rongrongan dari dalam seperti
korupsi.
Akan tetapi jika kita melihat
sisi lain dari keberadaan ekonomi Indonesia yang akhir-akhir ini carut marut
tidak karuan, privatisasi bisa jadi merupakan suatu solusi untuk mengatasi
permasalahan yang ada atau jangan-jangan privatisasi hanya satu-satunya solusi
yang bisa diterapkan untuk bisa menolong kelangsungan hidup BUMN itu sendiri.
Pertimbangan dan tujuan dari
privatisasi dari setiap negara berbeda-beda, pertimbangan aspek politis
yang utama dari privatisasi mencerminkan adanya kesadaran bahwa beban
pemerintah sudah terlalu besar, sementara sektor swasta lebih dapat melakukan
banyak hal secara efisien dan efektif dibandingkan dengan lembaga pemerintah
dan kegiatan-kegiatan yang terkait bisnis.
Privatisasi, dalam perspektif
nasionalisme memegang peranan penting dalam pembangunan perekonomian
nasional. Penjualan asset publik kepada pihak swasta mengurangi peran
pemerintah dalam mengalokasikan sumber daya publik kepada masyarakat. Orientasi
pembangunan yang mengacu kepada pertumbuhan ekonomi yang pesat menuntut
partisipasi pihak swasta dan asing untuk secara aktif terlibat dalam proses
pembangunan nasional.
Dengan mengacu pada beberapa
kasus di atas, privatisasi dilakukan tergantung dari hal yang mendasari
terjadinya privatisasi tersebut. Apabila pemerintah ingin mengajak swasta
berpartisipasi dalam pembangunan, privatisasi bisa sebagai salah satu jalan
asalkan kepentingan publik tidak tergadaikan. Yang harus diwaspadai adalah
jangan sampai privatisasi ini adalah akibat dari ketidakberesan yang terjadi
dalam BUMN tersebut. Jadi, privatisasi dilakukan karena adanya i’tikad baik
dari pemerintah untuk merangkul swasta. Sebaliknya privatisasi tidak perlu jika
pemerintah merasa mampu mengorganisir BUMN yang dimilikinya terutama kepada
BUMN yang berhubungan dengan kepentingan umum.
MEKANISME PRIVATISASI BUMN
SEBAGAI SEBUAH SOLUSI
A. PRIVATISASI BUMN
Privatisasi
atau swastanisasi adalah melepaskan sebagian atau seluruh saham kepada pihak
swasta, baik itu secara langsung maupun melalui pasar modal (go public).[3]
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara Privatisasi adalah penjualan saham
Persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka
meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan
masyarakat, serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Sedangkan Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya
disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya
dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan
negara yang dipisahkan.
Menurut Keputusan Presiden
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2001 Tentang Tim Konsultasi Privatisasi Badan
Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Negara yang selanjutnya
disebut BUMN Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 12 tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan
(PERSERO). Sedangkan Privatisasi BUMN
adalah penjualan saham milik negara Negara Republik Indonesia pada BUMN dan
atau pengeluaran saham baru BUMN.
Adapun maksud dari
dilakukannya privatisasi adalah:
- memperluas
kepemilikan masyarakat atas Persero;
- meningkatkan
efisiensi dan produktivitas perusahaan;
- menciptakan
struktur keuangan dan manajemen keuangan yang baik/kuat;
- menciptakan
struktur industri yang sehat dan kompetitif;
- menciptakan
Persero yang berdaya saing dan berorientasi global;
- menumbuhkan
iklim usaha, ekonomi makro, dan kapasitas pasar.
Privatisasi dilakukan dengan
tujuan untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan dan meningkatkan peran
serta masyarakat dalam pemilikan saham Persero. Privatisasi dilakukan dengan
memperhatikan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggungjawaban, dan kewajaran. Sejalan dengan usaha meningkatkan kehandalan
sektor swasta, Dr. Ir. Roy H. M. Sembel, MBA menilai bahwa langkah privatisasi
BUMN telah memperoleh momentum dan langkah-langkah privatisasi BUMN itu perlu
dilanjutkan pada tahun-tahun mendatang.[4]
Gagasan privatisasi sangat
gencar terjadi pada waktu perekonomian yang sedang dilanda kesulitan. Paling
tidak ada tiga kondisi atau faktor yang melatarbelakanginya. Pertama, pada masa sulit orang akhirnya
mencari-cari jalan keluar yang mungkin ditempuh, sehingga semua sumber daya
dapat dimanfaatkan secara optimal. Dalam hal ini BUMN dilihat sebagai sosok
unit usaha yang tidak efisien dan belum optimal kinerjanya, sehingga dianggap
berpeluang untuk dibenahi. BUMN masih dianggap sebagai unit ekonomi yang boros,
kurang efisien, salah urus, tidak profesional, dan penilaian negatif lainnya.
Dari sisi ini privatisasi dianggap sebagai upaya untuk penyehatan atau
peningkatan efisiensi BUMN tersebut. Dana privatisasi bisa digunakan untuk
memperluas investasinya, dan manajemen yang baru diharapkan pula bisa
memperbaiki kinerja perusahaan. Dengan demikian hal ini merupakan upaya
internal yang terkait langsung dengan kepentingan BUMN tersebut, yakni ingin
menjadikannya sebagai unit usaha yang kinerjanya sesuai dengan kaidah-kaidah
bisnis umumnya, walaupun tanpa bisa melepaskan sama sekali misi BUMN yang juga
mengemban misi sosial dan perannya sebagai agent
of development. Kedua, membantu kesulitan keuangan negara dan problematik
perekonomian nasional pada umumnya. Dalam hal ini bisa saja sebagai unit usaha
BUMN ini dirugikan atau dikorbankan untuk mengatasi masalah-masalah yang ada di
luar BUMN tersebut. Misalnya, karena tuntutan untuk memperoleh devisa guna
mengatsi gejolak kurs yang ada, atau untuk memenuhi kewajiban internasional
kita, maka BUMN terpaksa dilepas kepada pihak asing, atau pihak-pihak yang bisa
memasukkan devisa segar ke dalam negeri. Jadi, privatisasi BUMN ini lebih
diorientasikan pada pencarian dana segar yang perolehannya tidak digunakan
untuk keperluan investasi atau pengembangan perusahaan.
Ketiga, untuk menarik masuknya modal asing.
Sekarang ini kebutuhan devisa di tanah air sangat mendesak, baik untuk memenuhi
kewajiban internasional yang sudah jatuh tempo maupun untuk memenuhi impor
kebutuhan barang pokok dan input industri
dalam negeri. Lebih dari itu, masuknya devisa tersebut sangat dibutuhkan pula
untuk menstabilkan nilai tukar rupiah yang saat ini fluktuasinya tinggi, dan
berada pada posisi kurs yang sangat lemah terhadap mata uang dunia.
Dalam
konteks privatisasi BUMN di tanah air saat ini, yang seakan ingin segera mungkin
melakukan privatisasi, faktor kedua dan ketiga ini agaknya cukup dominan yang
mendorong pemerintah melepas saham-saham BUMN ini. Karena desakan tuntutan
untuk memperoleh dana segar, muncul kasusu-kasus rencana penjualan BUMN yang
dianggap terlalu murah dan tidak umum, seperti kasus rencana privatisasi PT
Krakatau Steel dan PT Semen Gresik. Akibatnya muncul banyak kritik dan polemik
tentang privatisasi tersebut, yang membuat masalah menjadi semakin tidak jelas.
B. MEKANISME PRIVATISASI BUMN
Dasar
utama mekanisme privatisasi ini terutama adalah pemikiran bahwa aktivitas
ekonomi dan bisnis lebih baik diserahkan kepada swasta, karena usaha yang
dikelola swasta umumnya lebih efisien. Ini didasarkan pada berbagai penelitian
yang pernah dilakukan, yang membandingkan unit usaha swasta dan negara dalam
bidang yang sama, yang selalu berakhir dengan kesimpulan bahwa usaha swastalah
yang lebih efisien, dan usaha negara cenderung tidak efisien dan menjadikan
kinerja perekonomian masyarakat dibebani ekonomi biaya tinggi.[5]
Oleh
karena itu, dengan penyerahan unit-unit usaha BUMN pada swasta, maka pemerintah
dapat lebih mengkonsentrasikan aktivitas dan dananya pada kegiatan-kegiatan
untuk menjalankan roda pemerintahan tanpa terlibat pada urusan bisnis. Di
samping itu, privatisasi dianggap juga sebagai langkah lebih mendemonstrasikan
ekonomi, karena masyarakat dapat masuk ke semua bidang usaha. Walaupun
pemikiran demikian juga banyak ditentang, namun yang terjadi adalah mekanisme
privatisasi ini terus menggelinding.
Menurut Sri Mulyono
privatisasi dan mekanismenya dapat diramalkan dengan melihat pertumbuhan
perekonomian yang terjadi di suatu negara dalam suatu periode tahun tertentu.
Di Indonesia misalnya pada periode 1980-1981 terjadi pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dimana pada periode itu ditandai dengan harga minyak yang dua kali lipat
dibanding periode sebelumnya. Tahun 1986 ketika harga minyak turun tajam,
ekonomi Indonesia menjadi lesu. Pada tahun-tahun berikutnya Indonesia mulai
bangkit kembali karena arus modal asing dan peningkatan ekspor non migas akibat
reformasi perekonomian. Jadi, harga minyak, arus modal asing, ekspor non migas
dan reformasi perekonomian merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi ekonomi.
Dua faktor utama dicabangkan menjadi turun, tetap, naik. Elemen ketiga yaitu
ekspor non migas dipecah menjadi subfaktor yaitu naik. Elemen terakhir pada
tingkat dua, reformasi dipecah menjadi deregulasi yang berlanjut dengan
privatisasi BUMN.[6]
Mekanisme
privatisasi ini sebenarnya dapat dilihat dari beberapa bentuk. Privatisasi
antara lain bisa dilakukan dengan menjual penuh atau melepas sepenuhnya BUMN
kepada perusahaan swasta. Artinya setelah dijual pemerintah tidak lagi
mempunyai hak apa-apa lagi pada BUMN tersebut. Namun demikian, pemerintah
selaku pemegang bisa melepas sebagian saja sahamnya kepada swasta, baik melalui
kombinasi keduanya. Dalam konteks Indonesia, kebijakan dari Depkeu saat ini
lebih mempriorotaskan pada penjualan saham di bursa efek (go public). Pemilik saham dominan tetap berada di tangan pemerintah.
Sebuah perusahaan yang akan going public dapat mengikuti prosedur
yang terdiri dari tiga tahapan utama. Yang pertama adalah persiapan diri. Yang
kedua adalah memperoleh ijin registrasi dari BAPEPAM. Yang ketiga adalah
melakukan penawaran perdana ke publik (initial
public offering) dan memasuki pasar sekunder dengan mencatatkan efeknya di
bursa.
Persiapan untuk going public meliputi:
- Manajemen
atau pemerintah harus memutuskan suatu rencana untuk memperoleh dana dari
publik.
- Menugaskan
pakar-pakar modal dan institusi-institusi pendukung untuk membantu.
- Mempersiapkan
semua dokumen yang diperlukan untuk penawaran ke publik.
- Mempersiapkan
kointrak awal dengan bursa.
- Mengumumkan
ke publik.
- Menandatangani
perjanjian-perjanjian yang berhubungan dengan going public.
- Mendaftarkan
ke agen peringkat.
- Mengirimkan
pernyataan registrasi dan dokumen lainnya ke BAPEPAM.
Registrasi di BAPEPAM
meliputi:
- Menerima
pernyataan registrasi.
- Pengumuman
terbatas di BAPEPAM.
- Mempelajari
dokumen-dokumen yang diperlukan.
- Deklarasi
pernyataan registrasi efektif berlaku.
Pencatatan di Bursa meliputi:
- Emiten
mengisi dan menyerahkan aplikasi yang formulirnya disediakan oleh BEJ.
- BEJ akan
mengevaluasi aplikasi ini berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan.
- Jika aplikasi
memenuhi kriteria, BEJ menyetujuinya.
- Emiten
kemudian membayar biaya jasa pencantuman (listing fee).
- BEJ
kemudian akan mengumumkan pencantuman dari sekuritas ini.[7]
Menurut
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara privatisasi dilaksanakan dengan cara:
- Penjualan
saham berdasarkan ketentuan pasar modal.
Yang dimaksud dengan penjualan
saham berdasarkan ketentuan pasar modal antara lain adalah penjualan saham
melalui penawaran umum (Initial Public
Offering/go public), penerbitan obligasi konversi, dan efek lain yang
bersifat ekuitas. Termasuk dalam pengertian ini adalah penjualan saham kepada
mitra strategis (direct placement)
bagi BUMN yang telah terdaftar di bursa.
- Penjualan
saham langsung kepada investor.
Sedangkan yang dimaksud dengan
penjualan saham langsung kepada investor adalah penjualan saham kepada mitra
strategis (direct placement) atau
kepada investor lainnya termasuk financial investor. Cara ini, khusus berlaku
bagi penjualan saham BUMN yang belum terdaftar di bursa.
- Penjualan
saham kepada manajemen dan atau karyawan yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan penjualan
saham kepada manajemen (Management Buy
Out/MBO) dan atau karyawan (Employee
Buy Out/EBO) adalah penjualan sebagian besar atau seluruh saham suatu
perusahaan langsung kepada manajemen dan/atau karyawan perusahaan yang
bersangkutan.
Hasil privatisasi dengan cara
penjualan saham disetorkan langsung ke kas negara. Hasil privatisasi yang
disetorkan ke Kas Negara adalah hasil divestasi saham milik negara. Sedangkan
bagi penjualan saham baru, hasilnya disetorkan ke kas perusahaan. Bagi hasil
privatisasi anak perusahaan BUMN, hasil privatisasinya dapat ditetapkan sebagai
dividen interim. Yang dimaksud dengan hasil privatisasi adalah hasil bersih
setelah dikurangi biaya-biaya pelaksanaan privatisasi. Biaya pelaksanaan
privatisasi harus memperhatikan prinsip kewajaran, transparansi dan
akuntabilitas.
Dalam
melakukan privatisasi harus didahului dengan tindakan seleksi atas
perusahaan-perusahaan dan mendasarkan pada kriteria yang ditetapkan dalam
Peraturan Pemerintah. Kemudian terhadap perusahaan yang
telah diseleksi dan memenuhi
kriteria yang telah ditentukan, setelah mendapat rekomendasi dari Menteri
Keuangan, selanjutnya disosialisasikan kepada masyarakat serta dikonsultasikan
kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Perusahaan yang sedang berkembang membutuhkan
dana yang berasal dari modal sendiri maupun utang untuk membangun bisnisnya.
Strategi yang berkaitan dengan sumber-sumber dana ini merupakan strategi bisnis
yang penting karena komposisi utang dan modal sendiri yang optimal akan
menghindarkan perusahaan dari kesulitan keuangan dan akan memaksimalkan nilai
perusahaan di kemudian hari. Untuk mengetahui bauran pendanaan ini, manajemen
perusahaan perlu memahami pendapat para ahli keuangan dan alat analisis yang
akurat.[8]
Menurut
Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2001 Tentang Tim Konsultasi
Privatisasi Badan Usaha Milik Negara privatisasi dilakukan dengan cara:
- Penjualan saham kepada
masyarakat melalui penawaran umum maka pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan
perundang-undangan di bidang pasar modal.
- Penjualan
saham secara langsung kepada mitra strategis maka hal tersebut dilakukan
secara transparan.
Ketetapan
MPR-RI Nomor IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun
1999-2004 yang telah mengamanatkan agar dilakukan penyehatan BUMN terutama yang
usahanya berkaitan dengan kepentingan umum. BUMN yang usahanya tidak berkaitan
dengan kepentingan umum didorong untuk privatisasi melalui pasar modal. Disamping
itu privatisasi sebagai bagian dari kebijakan publik diharapkan dapat
meningkatkan kinerja perusahaan sektor publik. Privatisasi juga dinyatakan
sebagai salah satu kebijakan strategis yang dilakukan oleh manajemen BUMN
untuk meningkatkan efisiensi pengelolaan badan usaha milik negara. Pelaksanaan
privatisasi diharapkan dapat menciptakan good corporate governance
dilingkungan badan usaha milik negara sekaligus juga mewujudkan good public
governance di sektor publik.[9]
Walaupun pemerintah tetap
mendominasi saham BUMN yang sebagian sudah terjual, namun demikian langkah ini
tetap akan memberikan dampak positif dalam manajemen BUMN yang acap kali
dinilai kurang profesional itu. Dengan penjualan saham, maka BUMN menjadi
perusahaan publik yang pengelolaannya mau tidak mau harus lebih profesional
dengan tingkat keterbukaan (transparansi) yang tinggi. Kontrol yang lebih luas
dari para pemegang saham akan membuat eks-BUMN lebih berhati-hati dalam
operasionalnya, dan lebih berorientasi pada perbaikan kinerja perusahaan.
Pos-pos pengeluaran yang tidak perlu yang dapat mempertinggi biaya perusahaan,
misalnya dapat dikendalikan. Jadi, budaya yang sebelumnya masih menyisakan
budaya birokrat, harus diganti dengan budaya yang berorientasi bisnis, dengan
karakteristik yang responsif terhadap perkembangan pasar dan berupaya untuk bertindak
agresif, produktif, dan efisien. Di sisi lain bagi pemerintah ini mengandung
konsekuensi pula untuk tidak bisa terlalu jauh campur tangannya dalam manajemen
BUMN tersebut.
Perkembangan
yang terjadi di tanah air dan global saat ini telah membuat langkah privatisasi
semakin mendesak untuk dilakukan atas BUMN tanah air. Di samping beberapa
faktor yang sudah dikemukakan sebelumnya. Paling tidak ada tiga alasan umum
lainnya, baik dilihat dari kondisi internal BUMN maupun kondisi eksternal dan
global yang ada, untuk melakukan privatisasi tersebut. Pertama, wajah BUMN di tanah air sebagian masih menampakkan sosok
buram yang mencerminkan kinerja yang tidak baik. Kedua, perkembangan ekonomi dunia yang masih terbuka dan liberal
menuntut setiap unit usaha bertindak profesional dan menekankan kinerja yang
berorientasi pada efisiensi. Ketiga, kecenderungan
demokratisasi dalam aktivitas ekonomi domestik agaknya juga akan lebih menguntungkan
pemerintah untuk menanggalkan sebagian usahanya untuk diserahkan kepada swasta.
Melihat
perkembangan tersebut, maka dalam konteks privatisasi BUMN di tanah air,
seharusnya dibatasi pada menjual sebagian sahamnya kepada khalayak, melainkan
juga bisa secara penuh. Privatisasi seperti ini memang hanya terbatas padsa
sektor yang memang diminati swasta dan tidak menyangkut kepentingan rakyat
banyak. Namun demikian untuk unit usaha yang secara teknis masih mampu
ditangani oleh BUMN dan dapat memberikan keuntungan pada pemerintah.
Proses
privatisasi memang tidak bisa diterapkan begitu saja pada semua BUMN.
Sebagaimana amanat konstitusional kita ada cabang-cabang yang memang harus
dikuasai oleh negara seperti yang dianggap menguasai hajat hidup orang banyak.
Oleh karena itu perlu ada pengkategorian yang jelas mengenai sektor yang
menguasai hajat hidup orang banyak.
Dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik
Negara pasal 76 dan 77 dijelaskan persero mana yang boleh dan tidak untuk diprivatisasi.
Persero yang dapat diprivatisasi harus sekurang-kurangnya memenuhi kriteria:
- industri
atau sektor usahanya kompetitif; atau
Yang dimaksud dengan
industri/sektor usaha kompetitif adalah industri/sektor usaha yang pada
dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja, baik BUMN maupun swasta. Dengan kata
lain tidak ada peraturan perundang-undangan (kebijakan sektoral) yang melarang
swasta melakukan kegiatan di sektor tersebut, atau tegasnya sektor tersebut
tidak semata-mata dikhususkan untuk BUMN.
- industri /sektor usaha
yang unsur teknologinya cepat berubah.
Yang dimaksud dengan
industri/sektor usaha yang unsur teknologi cepat berubah adalah industri/sektor
usaha kompetitif dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat
cepat dan memerlukan investasi yang sangat besar untuk mengganti teknologinya.
Sedangkan
persero yang tidak dapat diprivatisasi adalah:
- Persero
yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan
hanya boleh dikelola oleh BUMN;
- Persero yang bergerak
di sektor usaha yang berkaitan dengan pertahanan dan keamanan negara;
- Persero
yang bergerak di sektor tertentu yang oleh pemerintah diberikan tugas
khusus untuk melaksanakan kegiatan tertentu yang berkaitan dengan
kepentingan masyarakat;
- Persero
yang bergerak di bidang usaha sumber daya alam yang secara tegas
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilarang untuk
diprivatisasi.
Jadi,
dalam upaya privatisasi ini bukanlah semata-mata pada pengetahuan atau konsep
gagasannya, namun yang lebih penting adalah kemauan riil melaksanakan
konsep-konsep yang dimiliki tersebut dalam tataran operasionalnya.[10]
C. REFORMASI PRIVATISASI SEBAGAI SOLUSI PERMASALAHAN
Tuntutan
untuk mewujudkan adanya kompetisi yang lebih bebas dan jujur dalam perekonomian
dan upaya deregulasi serta privatisasi sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan
dari upaya menekan tentang terjadinya praktek korupsi yang menimbulkan ketidak
efisienan. Langkah-langkah gencar ke arah privatisasi terhadap sebagian BUMN besar
oleh Menteri Pendayagunaan BUMN saat ini agaknya bisa dianggap sebagai contoh
upaya peningkatan TFP (total factor
productivity/tingkat pertumbuhan produktivitas input total) pada BUMN di
tanah air. Argumen yang sering dikemukakan oleh
menneg BUMN adalah untuk memperbaiki iklim investasi dengan cara mempercepat
pemulihan kepercayaan para investor. Selain terkesan sangat absurd, argumen
yang terkesan sangat dipaksakan tersebut jelas mengungkapkan adanya keinginan
yang sangat kuat untuk terus memaksakan pelaksanaan privatisasi dalam kondisi
apa pun. Dalam bahasa yang lebih gamblang, kecenderungan untuk mengobral BUMN
itu tentu tidak dapat diartikan lain kecuali sebagai pertanda dari keinginan
yang sangat kuat untuk meneruskan rampokisasi.[11]
Hanya saja proses privatisasi itu sendiri bisa menjadi sumber korupsi
dan kolusi terutama pada masa transisi. Hal ini terjadi manakala proses
privatisasinya tidak transparan dan tidak didukung aturan hukum yang lebih
jelas dan dipercaya. Kasus yang ramai dibicarakan sekitar tahun 1998 yang lalu yang
menyangkut privatisasi PT Krakatau Steel yang akhirnya dibatalkan agaknya bisa
dianggap contoh kurangnya keterbukaan dalam rencana proses privatisasi sehingga
yang muncul adalah adanya pihak-pihak yang ingin memperoleh rente-ekonomis dari
privatisasi ini.[12]
Oleh
karenanya sangat menarik untuk menganalisis adanya tindak pidana korupsi di
BUMN. Sebenarnya pemberantasan korupsi di tubuh BUMN sudah diusahakan oleh
pemerintah terbukti dengan dikeluarkannya Inpres Nomor 5 tahun 2004, tentang
percepatan pemberantasan korupsi. Selain itu pada Penyelenggara Negara sesuai
Pasal 5 angka 4 UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih
dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) telah digariskan untuk tidak
melakukan perbuatan KKN. Menteri, Direksi dan Komisaris BUMN sesuai UU No. 28
Tahun 1999 Pasal 2 angka 3 dan 7 berikut Penjelasan termasuk Penyelenggara
Negara.[13]
Konsep memang sudah ada, tinggal bagaimana pelaksanaannya.
Indonesia
sebenarnya mempunyai sektor BUMN yang besar, sayangnya sektor tersebut tidak
bisa dikelola secara efektif. Sebenarnya ada keinginan yang kuat untuk
memperbaiki sektor ini dengan meningkatkan efisiensi dan meningkatkan dividen
yang harus dikembalikan kepada pemerintah dan masyarakat. Isu ini menjadi
sangat rumit sehingga reformasi dalam BUMN tidak dapat dihindari sebagai isu
jangka menengah.
Perbaikan
di BUMN paling tidak meliputi:
- Lingkungan
pasar yang bersaing (monopoli swasta tidak lebih daripada monopoli
pemerintah).
- Korporatisasi
BUMN untuk memastikan bahwa perusahaan-perusahaan itu dikelola atas dasar
komersial yang efektif.
- Tujuan
masyarakat yang ditugaskan pada BUMN perlu dirinci dengan jelas dan harus
ada tunjangan untuk penyediaan yang memadai.
- Prosedur
laporan yang tepat dan transparan dalam memantau kinerja BUMN.
Pemerintah dapat mendorong
reformasi BUMN melalui berbagai cara dan sarana termasuk menghapus hak monopoli
BUMN (misalnya Pertamina sebagai distributor tunggal minyak nasional) dan
memperkenalkan persyaratan bahwa BUMN harus memenuhi target kinerja keuangan
yang dapat diterima (dengan dicatat secara terbuka dan eksplisit). Keputusan
dari pemegang saham setempat yang relevan harus diperhitungkan. Bantuan yang
tadinya disalurkan melalui BUMN mungkin harus datang langsung dari anggota
pemerintah.
Pengaturan BUMN harus
dilakukan dengan cara yang terbuka dan transparan sama sekali. Jika dilakukan
privatisasi sebaiknya kepemilikannya sebagian besar berada di tangan swasta
untuk memastikan bahwa pemilik baru dapat memperkenalkan perbaikan di tingkat
perusahaan yang penting.[14]
Proses privatisasi dimaksudkan
untuk meningkatkan kinerja dan nilai tambah perusahaan serta peran serta
masyarakat. Selain meningkatkan kualitas domestik, BUMN juga mampu bersaing
dalam dunia global. Rumusan visi inilah yang dijadikan landasan bagi seluruh
perusahaan BUMN. Dengan demikian, mereka bisa memperoleh untung, membayar
pajak, dan membagikan laba kepada pemegang saham. Semua itu terangkum dalam
master plan BUMN 2002-2006. Kementerinan BUMN punya strartegi yang dibagi dalam
tiga periode. Periode konsolidasi tahun 2002, revitalisasi tahun 2003-2004, dan
pertumbuhan pada tahun 2005-2006. Langkah awal adalah upaya koordinasi dan
monitoring, akselerasi penyehatan, pelaksanaan GCG, kebijakan otonomi daerah,
penyusunan Undang-Undang BUMN, serta restrukturisasi dan privatisasi. Pada
periode selanjutnya, badan usaha diharapkan bisa meningkatkan harga saham,
mengefektifkan manajemen, meningkatkan operasional, pelayanan dan pendapatan,
pengadaan barang dan jasa, serta restrukturisasi dan privatisasi. Terakhir
periode pertumbuhan pada 2005-2006. Strategi diperiode ini diarahkan pada
pengembangan bisnis dan kelanjutan proses privatisasi.[15]
KESIMPULAN
Dalam
rangka menyelamatkan dan mendayagunakan aset negara, serta mengoptimalkan
potensi yang ada dalam BUMN untuk kepentingan ekonomi nasional dan rakyat
banyak, maka sudah saatnya kita menkaji ulang apa yang seharusnya dilakukan
untuk melakukan suatu tindakan nyata pada BUMN guna mengobati penyakitnya yang
selama ini mendera dan bersarang di tubuh BUMN.
Bagi
dunia bisnis dan masyarakat luas, kebijakan privatisasi BUMN merupakan
tantangan dan sekaligus peluang dalam mengembangkan unit ekonomi masing-masing.
Privatisasi BUMN berarti ada usaha untuk memperbaiki kinerja BUMN, hal ini menjadi
pesaing yang berarti bagi unit-unit usaha swasta yang sejenis. Namun demikian
persaingan ini tidak menjadi ancaman yang berarti bagi dunia usaha karena
dilakukan dengan cara yang fair karena
BUMN yang ada seharusnya untuk berkembang dengan tanpa mengandalkan fasilitas
yang diskriminatif dari pemerintah.
Dunia
usaha dan masyarakat juga mempunyai peluang untuk memiliki saham-saham BUMN
yang akan dilepas di pasar modal. Sebagian perusahaan negara tersebut, jika
dikelola dengan manajemen yang profesional, mempunyai peluang besar untuk
memperoleh laba yang banyak. Kepemilikan saham BUMN ini memberikan peluang
tidak saja bagi pemilik dana besar untuk berpartisipasi dalam kepemilikan saham
BUMN, melainkan juga setiap individu yang mempunyai dana terbatas. Hanya saja dalam
kondisi perekonomian yang seperti sekarang ini tidak mudah bagi BUMN untuk
melakukan privatisasi di pasar modal tersebut. Kepemilikan saham harus menjadi
aspek perhatian yang serius dari pemerintah. Jika BUMN tersebut menyangkut
hajat hidup rakyat banyak Indonesia, pemerintah harus membatasi kepemilikan
saham swasta pada BUMN yang bersangkutan. Intinya pemerintah menjadi pemilik
saham dominan. Misal pada kasus privatisasi PT Indosat seharusnya pemerintah
mengkaji ulang kebijakan yang akan dilakukan mengingat vitalnya BUMN yang satu
ini. Pemerintah sebenarnya bisa saja melukan privatisasi dengan swasta nasional
jika memang dirasa sudah tidak ada jalan keluar lagi untuk menyelesaikannya,
sehingga pemerintah masih bisa mengawasi lebih banyak. Ataupun jika memang BUMN
tersebut layak untuk diprivatisasi dengan tujuan untuk mengajak swasta terlibat
dalam pembangunan, seleksi yang baik harus dilakukan kepada perusahaan yang
akan menjadi mitra privatisasi. Walaupun hal tersebut sudah terjadi kita bisa
memulai dari awal dalam memulai menata kembali perekonomian negara ini. Walaupun
kita berbenturan dengan moral yang buruk dari para pelaku ekonomi sendiri,
paling tidak kita bisa membuat semacam aturan yang kemudian kita laksanakan
secara bersama-sama.
Proses
Privatisasi BUMN hendaknya dilakukan secara cermat, dan bermanfaat dengan
memperhatikan timing yang tepat dengan kriteria yang jelas BUMN mana
saja yang boleh di privatisasi. Privatisasi hendaknya diarahkan dengan cara
menjual saham baru dan Pemerintah dapat ikut ikut menjual saham
lama . Dengan cara ini, pemerintah dan perusahaan sama-sama mendapatkan dana
segar yang bermanfaat untuk menggerakkan ekonomi.
Perlu
diakui bahwa Indonesia memang membutuhkan devisa yang mendesak untuk
kelangsungan pembangunannya. Privatisasi BUMN bisa jadi sebagai jalan untuk
mendapatkan devisa tersebut. Akibat dari adanya privatisasi harus dicermati
dengan baik mengenai apa untung ruginya. Selain itu kebijakan-kebijakan dalam
sektor lain juga perlu diperhatikan, jangan sampai kita hanya mengandalkan
privatisasi BUMN sebagai satu-satunya malaikat penolong. Kebijakan-kebijakan
ini meliputi sektor keuangan yang dihidupkan kembali, hak-hak properti yang
aman, perbaikan ataupun reformasi di tubuh BUMN itu sendiri, keleluasaan modal
asing, peramalan dan kredibilitas kebijakan, akses atau prasarana fisik yang
baik mutunya dan pekerja-pekerja yang terlatih.
Dalam
sejumlah industri yang berciri tingkat konsentrasi tinggi, masalah terutama
bersumber pada proteksi atas barang-barang masuk yang diciptakan pemerintah
terutama dimana BUMN selalu ada. Jelas penyelesaiannya perlu dilakukan dengan
menghilangkan proteksi pada sumbernya dan bukan dengan mendirikan badan
administrasi yang lebih kompleks.
by: Tantowi Azizi Sahoed
[1] Sumaryanto Widayatin, Mempercepat Penanganan Aset dan Privatisasi
BUMN, MCSE dalam Kursus Regular Angkatan XXXV Lemhanas tahun 2002, buletin
BAPEKIN
[2] Sunarsip, Di Setiap BUMN Ada Korupsi, Media Akuntansi edisi September 2005.
[3] J. Boston (1998),
sebagaimana dikutip Mardjana, Jurnal Keuangan dan Moneter, edisi Desember 1994.
[4] Jakob Tobing, Perekonomian Indonesia Menyongsong Abad XXI,
Pustaka Sinar Harapan: Jakarta, 1998, hal. xxii.
[5] Bacellius Ruru
(1996, hal. 40) sebagaimana dikutip Edi Suandi Hamid dan M. B. Hendrie Anto, Ekonomi Indonesia Memasuki Milenium III, UII
Press: Yogyakarta , 2000, hal. 67.
[8] Agnes Sawir, Kebijakan Pendanaandan Restrukturisasi Perusahaan, PT Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta 2004.
[9] Setyanto P.
Santosa, Implementasi Privatisasi BUMN
dan Pengaruhnya Terhadap Nasionalisme, Kolom Pakar, Pacific Link edisi
April 2006.
[10] Edi Suandi Hamid
dan M. B. Hendrie Anto, Ekonomi Indonesia
Memasuki Milenium III, UII Press: Yogyakarta, 2000, hal. 64-78.
[11] Revrisond Baswir,
Rampokisasi (4) – APBN 2003 dan
Privatisasi BUMN, Republika edisi Senin 25 Nopember 2002.
[12] Edy Suandi Hamid,
Perekonomian Indonesia – Masalah dan
Kebijakan Kontemporer, UII Press: Yogyakarta, 2000, hal. 63.
[13] Tumpal Wagner
Sitorus, Menyoal Tantiem untuk Direksi
dan Komisaris Manakala BUMN Merugi, Media Akuntansi edisi September 2005
hal. 45.
[14] Anwar Nasution, Kompleksitas Pemulihan Ekonomi Indonesia
(Menuju Tata Indonesia Baru), PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta, 2000,
hal. 67-73.
[15] Yandi M. R., Privatisasi BUMN Diharapkan Selesai 2006, Tempo
Interaktif edisi 15 Desember 2003.
No comments:
Post a Comment